Mencuatnya ideologi Muktazilah pada pertengahan abad ke-2 H. merupakan kejadian kelam yang pernah dialami umat Islam. Fitnah yang dilahirkan oleh Washil bin Atha’ ini akhirnya tumbuh dan berkembang hingga berhasil menyusup masuk ke dalam tubuh pemerintahan dan mendarah daging. Tepatnya pada periode al-Makmun fitnah ideologi ini mendapatkan tempat khusus bahkan menjadi ideologi resmi negara dan berlanjut hingga beberapa dekade setelahnya. Lantas bagaimana sosok imam Asy’ari tampil dan berhasil melumpuhkan ideologi ini? Atas dasar apa beliau merumuskan akidah Ahlusunah waljamaah? dan kenapa akidah Ahlusunah waljamaah dinisbatkan kepada beliau? Mari kita bahas!
Sebelum itu, perlu diingat terlebih dahulu bahwa imam Asy’ari tidak membuat akidah ataupun pendapat baru. Beliau hanyalah merapikan, menyusun, dan merumuskan apa yang telah diyakini oleh para tokoh dan pembesar ahlul atsar atau ahlul hadits, dan juga apa yang dianut oleh para fuqaha’ yang mendalami dirasah hukum-hukum syariat terkait masalah-masalah pokok keagamaan (ushuluddin). Yakni adalah keyakinan yang mereka wariskan sejak generasi tabiin, yang mana merupakan warisan dari para sahabat Rasulullah ﷺ yang bersumber dari nas-nas al-Quran dan hadis.
Baca Juga: Dusta Wahabi Terhadap Akidah Ulama (#1)
Hanya saja, dikarenakan kelompok-kelompok sesat dan menyimpang -yang subtansi ajakannya mengarah pada bidah- masih belum muncul dan dikenal khalayak banyak, maka manhaj ini tidak menjadi sorotan khusus dan perhatian utama, tidak terdengar oleh telinga dalam meja diskusi dan perundingan pada kala itu. Bagaikan suatu jalan yang sudah terlupakan dan kumuh terbengkalai, diatasnya kotor dipenuhi debu dan dedaunan, lalu hilanglah kejelasan rambu-rambu dan tanda petunjuknya. Sehingga peran imam Asy’ari hanyalah menghapus dan membersihkan jalan tersebut dari kotoran, memperjelas bagi siapa saja yang memandang dan memberi rambu-rambu untuk umat dalam himbauannya agar selau konsisten mengikuti apa yang telah diajarkan oleh para salafus-saleh yang dianut dan dipeluk oleh mayoritas umat Islam sejak masa kenabian.[1] Lalu merumuskan ajaran dan akidah mereka agar mudah dikaji dan dipelajari.
Oleh karena itu, siapa saja yang yang mengikuti petunjuk dan rambu-rambu yang telah beliau arahkan, disebut Asy’ariyah atau Asya’irah. Sebagai nisbat kepada beliau ‘sang arkati’ sekaligus nahkoda jamaah ahlusunah waljamaah. Selaras dengan penuturan al-Imam Ibn Khallikan:
هُوَ صَاحِبُ اْلأُصُوْلِ وَالْقَائِمُ بِنَصْرَةِ مَذْهَبِ اَهْلِ السُّنُّةِ وَإِلَيْهِ تُنْسَبُ الطَّائِفَةُ الأَشْعَرِيَّةِ
“Beliau (Imam Abu Hasan al-Asy’ari) adalah perumus pokok-pokok akidah dan penolong mazhab ahli sunah. Dan kepada beliaulah kelompok Asy’ariyah dinisbatkan.”[2]
Metode yang beliau terapkan dalam menolong akidah Ahlusunah dan merumuskannya hingga menjadi ‘hidangan siap saji’ bagi umat adalah dengan dua hal: Pertama, adalah murni penggunaan dalil dari nas-nas al-Quran dan hadis (Maslak an-Naql). Kedua, adalah memanfaatkan peran akal sebagai dalil penguat (Maslak al-‘Aql).[3] Paduan yang sangat baik dan pengolahan dalil yang sangat pas inilah yang membuat akidah dan ajaran ahlusunah kuat dan kokoh. Dalil dan amaliahnya memiliki relevansi dan kelestarian hingga Yaumil Qiyamah.
Baca Juga: Pentingnya Generasi Al-Asyariyah
Maka tidak heran jika banyak para ulama memuji beliau atas jasa besarnya yang telah tersumbangkan untuk umat Islam, menyatukan mereka dalam satu panji di bawah naungan akidah Ahlusunah waljamaah hingga melumpuhkun akidah Muktazilah yang tengah naik daun pada saat itu. Mujadid abad ke-3 ini berhasil mengambil peran penting dan menjadi ‘super hero’ dalam menyelamatkan umat Islam dari fitnah kubra kedua, dan memfasilitasi umat dengan sajian dalil yang telah beliau racik dari nas-nas al-Quran dan hadis dengan paduan nalar dan hujah rasional. Menjadikan mazhab ini tempat berlindung paling aman dari fitnah dan gejolak pemikiran menyimpang. Terkait hal ini Ibnu Asakir berkata:
فَمَذْهَبُهُمْ أَوْسَطُ الْمَذَاهِبِ وَ مَشْرَبُهُمْ أَعْذَبُ الْمَشَارِبِ
“Maka mazhab mereka adalah yang paling moderat di antara mazhab-mazhab lainnya, dan jalan mereka adalah yang paling jernih (murni) di antara jalan-jalan lainnya.”[4]
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa pernyataan kelompok lain bahwa imam Asy’ari merintis akidah baru dalam agama adalah fitnah dan kebohongan nyata yang tidak berdasar. Sebab, ungkapan demikian mengandung hidden meaning (maksud tersembunyi) yang tidak lain adalah untuk menjustifikasi jargon besar mereka “Mari kita kembali kepada al-Quran dan hadis” karena bagi mereka manganut ijtihad dan mengikuti istinbat ulama sama halnya dengan mengunggulkan mereka daripada Rasulullah ﷺ atau bahkan tidak mengikutinya. Pendek kata, mungkin mereka malu untuk mengatakan “Mari kita ijtihad sendiri dari al-Quran dan hadis! Jangan ikut ulama!” atau “Mari kita rumuskan akidah sendiri! Jangan ikut imam Asy’ari!”, wow!
Muhammad Asrori | annajahsidogiri.id
[1]Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, al-Madzahib at-Tauhidiyah, hal. 107 Dar al-Fikr
[2] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ibn Khallikan, Wafayatul A’yan, juz. 2, hal. 365
[3]Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul Madzahib, hal. 170, Dar al-Fikr al-‘Arabi
[4] Ibn Asakir, Tabyinu Kidzbil Muftari, hal. 397