Memerangi kaum kafir dalam konteks jihad merupakan amal yang mulia dan sangat berharga dalam Islam. Keutamaan pelakunya banyak termaktub dalam al-Quran dan hadis. Bahkan, Imam Nawawi dalam kitab Riyadh as-Shalihin mencantumkan enam puluh tujuh hadis dalam bab khusus, yang keseluruhannya adalah tentang jihad, keutamaan, jaminan, dan lainnya. Hingga, Wafat dengan membawa status Syahid menjadi tujuan utama bagi para pejuang di jalan Allah.
Namun, keutamaan berjihad dari masa ke masa berada di tinkatan yang berbeda-beda, melihat pada keadaan dan situasi perindividu. Hal ini dapat kita ketahui dari keputusan Sayidina Umar bin al-Khattab ketika menjadi khalifah, beliau mengambil kebijakan yang cukup tegas. Salah satunya adalah larangan untuk para pembesar sahabat ikut serta dalam ekspedisi peperangan yang terlaksana pada masa beliau.
Baca juga: Jihad Sebagai Refleksi Rahmatan lil Alamin
Meski banyak tentara yang diutus untuk menaklukkan wilayah baru, Sayyidina Umar mencegah para sahabat senior untuk ikut serta dengan alasan bahwa mereka telah cukup berjihad pada masa Rasul. Beliau menekankan bahwa keutamaan berperang pada masa Nabi tidak akan dapat tercapai kembali setelah beliau wafat, sehingga mereka yang sudah berjuang di zaman Rasul sebaiknya tidak terlibat dalam ekspedisi di luar Madinah. Untuk lebih fokus menyebarkan ilmu kepada generasi selanjutnya. Lantas, bagaimana pelaksanaan syariat jihad ini di zaman sekarang?.
Untuk itu, kita perlu memahami terlebih dahulu hukum pelaksanaan jihad. Hukum jihad adalah fardhu kifayah yang wajib kita laksanakan setiap tahunnya, jika orang kafir (harbi) berada di luar wilayah dan mengancam wilayah kita.
Dan dapat berubah hukum menjadi fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu) jika orang kafir (harbi) menyerang atau mengekspansi wilayah kita. Sedangkan dosa bagi orang yang tidak melaksanakan jihad sebagai fardhu kifayah akan gugur apabila sudah ada sebagian kaum Muslim yang melaksanakannya. Hal ini sebagaimana permasalahan hukum shalat jenazah.
Namun, agar hukum fardhu kifayah ini bisa terpenuhi jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu dengan cara Imam mengirimkan pasukan yang jumlahnya setara dengan pasukan orang-orang kafir untuk mengisi ngarai-ngarai, memperkuat benteng dan parit, serta menunjuk panglima-panglima yang tepat. Atau Imam sendirilah yang memasuki wilayah orang kafir dengan membawa pasukan untuk memerangi mereka.
Baca juga: Salah Kaprah Jihad
Namun harus kita ingat, ini bukan berarti kita harus menyerang orang kafir setiap tahun, meskipun mereka tidak berbuat salah. Perang dalam konteks jihad ini hanyalah sarana, bukan tujuan utama. Tujuan yang sesungguhnya adalah untuk menarik datangnya hidayah. Oleh karena itu, jika hidayah bisa datang melalui dakwah atau perdebatan, maka hal itu lebih baik untuk dilakukan. Demikian keterangan dalam kitab I’anatuth-Thalibin karya Syekh Abu Bakar Syatha, berikut redaksinya:
وَتَحْصُلُ الْكِفَايَةُ بِأَنْ يَشْحَنَ الْإِمَامُ الثُّغُورَ بِمُكَافِئِينَ لِلْكُفَّارِ مَعَ إِحْكَامِ الْحُصُونِ وَالْخَنَادِقِ وَتَقْلِيدِ الْأُمَرَاءِ أَوْ بِأَنْ يُدْخُلَ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ دَارَ الْكُفْرِ بِالْجُيُوشِ لِقِتَالِهِمْ وَوُجُوبِ الْجِهَادِ وُجُوبَ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ
إِذْ الْمَقْصُودُ بِالْقِتَالِ إِنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةُ وَمَا سِوَاهَا مِنْ الشَّهَادَةِ. وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُودٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةُ بِإِقَامَةِ الدَّلِيلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنْ الْجِهَادِ اه
“Dan hukum fardhu kifayah bisa dihasilkan bagi imam dengan mengirimkan pasukan yang setara dengan orang-orang kafir sambil memperkuat benteng dan parit serta menunjuk para pemimpin, atau imam sendirilah yang memasuki wilayah kafir dengan pasukan untuk memerangi mereka. Kewajiban jihad adalah kewajiban sarana, bukan tujuan, karena tujuan dari pertempuran adalah hidayah (petunjuk) dan kesaksian (syahadat). Adapun membunuh orang kafir bukanlah tujuan, bahkan jika hidayah dapat dicapai dengan memberikan bukti tanpa jihad, itu lebih diutamakan daripada jihad”
kesimpulanya, bahwa hukum jihad adalah wajib, namun pelaksanaannya bergantung pada kondisi yang ada. Jika memungkinkan untuk melaksanakan cara pertama (mengirim pasukan, memperkuat benteng, mengisi ngarai atau menyerang langsung ke wilayah orang kafir) maka hal itu sebaiknya dilakukan. Akan tetapi hal ini tidak mudah karena membutuhkan kekuatan militer dan dukungan sistem negara yang menerapkan syariat Islam di bawah pemimpin yang kuat dan loyal terhadap sesama Muslim. Hal ini bisa saja kita terapkan dalam upaya membantu saudara-saudara kita di Palestina. Namun, yang mendapat beban tanggungan dalam hal ini adalah pemimpin, karena individu biasa tidak akan memiliki kekuatan besar untuk melaksanakannya.
Baca juga: Jihad Tidak Melulu Perang
Apabila cara pertama tidak memungkinkan, maka kita bisa mengambil alternatif kedua, yaitu berjihad dengan berdakwah atau berdebat dengan orang kafir. Mengenai seberapa banyak yang memeluk Islam, itu bukanlah urusan kita, karena tugas kita hanya menyampaikan pesan. Hanya Allah yang berhak memberi hidayah, Allah berfirman:
اِنَّكَ لَا تَهْدِيْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) tidak (akan dapat) memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia paling tahu tentang orang-orang yang (mau) menerima petunjuk.” (Al-Qaṣaṣ [28]:56)
Demikianlah uraian singkat mengenai syariat jihad. Semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang Allah kehendaki untuk melaksanakannya, baik melalui cara peperangan maupun dakwah. Sekian, Wassalam.
M Salman Ar Ridlo | Annajahsidogiri.id