Sahabat #SerialAkidahAwam pada edisi kali ini, kita akan beralih ke pembahasan sifat mustahil bagi para Rasul. Sebelumnya kita telah membahas sifat mustahil bagi Allah ﷻ yang mana sifat mustahil tidak mungkin terjadi kepada Dzatnya Allah ﷻ, karena sifat tersebut memiliki sisi negatif pada penyebutan sifat wajib Allah ﷻ (pengurangan maknanya).
Para rasul adalah sosok manusia-manusia yang jujur, terjaga dari dosa, punya kecerdasan, dan mereka senantiasa menyampaikan pesan Tuhannya dengan baik, selama mereka diperintahkan untuk menyampaikan pesan itu. Mustahil mereka berdusta, melakukan dosa, kurang wawasan, dan menyembunyikan sesuatu yang harus mereka sampaikan.
Al-Imam as-sanusi dalam kitab Ummul Barahin menulis:
وَيَسْتَحِيلُ فِي حَقِّهِمْ عَلَيْهِمْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَضْدَادُ هَذِهِ الصِّفَاتِ وَهِيَ الْكَذِبُ وَالْخِيَانَةُ بِفِعْلِ شَىْءٍ مِمَّا نُهُوا عَنْهُ نَهْيُ تَحْرِيمٍ أَوْ كَرَاهَةٍ وَكِتْمَانِ شَىْءٍ مِمَّا أَمِرُوا بِتَبْلِيغِهِ لِلْخَلْقِ،
“Dan mustahil bagi mereka kebalikan dari sifat-sifat ini. Yaitu kebohongan, khianat dengan cara melakukan sesuatu yang dialarng, baik dengan keharaman ataupun kemakruhan atau menyembunyikan sesuatu yang mereka diperintahkan untuk menyampaikan hal tersebut kepada para makhluk.[1]”
Pemaparan ini mengandung sifat mustahil bagi para rasul; sifat yang berkebalikan maknanya dengan sifat wajib, sebagaimana berikut:
-
Kidzib
Yakni tidak sesuainya informasi yang diberikan atau yang dikabarkan dengan realitas yang ada. Informasi yang berasal dari orang jujur lebih banyak dipercaya ketimbang yang diragukan kejujurannya, apalagi orang yang menyampaikan adalah sekelas utusan Allah ﷻ. Kalau mereka dimungkinkan untuk berbohong, maka konsekuensinya adalah memungkinkan adanya kebohongan dalam firman Allah ﷻ. Sedangkan berbohong merupakan sebuah kecacatan, dan kecacatan tidak mungkin dinisbatkan kepada Tuhan, karena itu mustahil[2].
-
Khianat
Yakni melakukan tindakan (termasuk ucapan) yang dilarang, baik haram ataupun makruh, meski pernah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah buang air kecil sambil berdiri, basuhan wudhu yang berkali-kali atau pernah dua kali-dua kali. Sebab apa yang beliau lakukan itu memiliki tujuan berupa tasyri’ (memberi pelajaran syariat) dan menerangkan kebolehannya.
Sehubungan dengan para Rasul dan Nabi adalah utusan Allah ﷻ, yang dipercaya sebagai penuntun jalan kebenaran bagi umat, maka logika yang sehat mengharuskan mereka untuk terjaga dari dosa dan kesalahan. Hal inilah yang dimaksud dengan sifat amanah (terjaga dari dosa baik dhohir-batin atau dosa kecil-besar). Jika Rasul berkhianat dalam artian melakukan dosa-dosa, maka kita juga harus melakukannya, karena kita diperintah untuk mengikuti ajaran yang dibawa para Rasul dan Nabi2.
Sementara dalam Al-Quran telah menegaskan bahwa Rasul tidak berkhianat melainkan amanah:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِۗ
“Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian.”
-
Kitman
Yakni merahasiakan (menyimpan) sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan, meskipun lupa, karena mereka tidak boleh lupa terhadap hukum-hukum yang harus mereka sampaikan dari Allah ﷻ, walaupun dalam masalah lain mereka boleh lupa. Selain itu, mereka merupakan suri tauladan bagi umat mereka. Nabi ﷺ sendiri pernah lupa untuk mengerjakan shalat, tetapi hal itu disebabkan kesibukan hatinya dalam mengagungkan Allah ﷻ.
Bagi orang Arab dulu ketidakmampuan baca-tulis itu bukanlah aib, karena mereka adalah kaum yang banyak mengandalkan hafalan. Jadi maklum adanya jika Rasul itu lupa, karena hal itu merupakan kebolehan (sifat jaiz) para Rasul, yang terpenting adalah sifat itu tidak mengurangi derajat para Rasul dan Nabi disisi Allah ﷻ.
Dalam pernyataan di atas tidak menyinggung sifat baladah, karena mereka memiliki sifat fathanah (kecerdasan) untuk menyampaikan hukum-hukum dari Allah ﷻ kepada umatnya, karena kecerdasan itulah yang dapat membantu mereka dalam menuntun umat manusia, sesuai dengan misi dan tugas mereka sebagai utusan Allah ﷻ. Bila rasul itu memiliki sifat baladah, niscaya mereka tidak mungkin bersikap jujur, terjaga dari dosa, apalagi menyampaikan hukum syariat, sebab mereka tidak fathanah.
Dimas Aji Negara | Annajahsidogiri.id
[1] Muhammad Nuruddin, Dasar-dasar Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 138
[2] Muhammad Nuruddin, Dasar-dasar Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah, hlm. 140-146