Imam Abdurraḥmān bin Abī Bakr Jalāluddīn as-Suyūṭhī (w. 911 H/ 1506 M) memiliki perhatian besar terhadap umat muslim. Salah satunya mengenai pelaksanaan syariat Islam yang benar. Pada masa beliau, seperti juga masa kini, beliau banyak melihat terjadi bidah yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Untuk menjelaskan tuntunan agama yang benar mengenai bidah ini, beliau menulis sebuah kitab berjudul Ḥaqīqatus Sunnah wal Bid‘ah.
Takrif Bidah
Dalam kitab tersebut, Imam Suyuthi menjelaskan bahwa bidah yang buruk itu adalah sebutan bagi sebuah tindakan menabrak syariat dengan cara melakukan sesuatu yang menyelisihi atau bertentangan dengan syariat, atau sesuatu yang menyebabkan terjadinya hal itu dengan cara menambahkan atau mengurangi syariat. Para ulama terdahulu sangat membenci tindakan ini, mereka akan lari menjauh dari setiap pelaku bidah.
Kunjungi juga situs resmi Sidogiri Media
Beliau juga menekankan bahwa bidah yang buruk adalah sesuatu yang merusak syariat. Beliau menekankan hal ini, karena nampaknya ada yang meyakini bahwa bidah adalah semata-mata segala sesuatu yang baru dalam urusan agama. Padahal sesuatu yang baru tidak selamanya merusak agama.
Sungguh terjadi bahwa banyak hal yang baru tidak berbenturan dengan syariat, tidak pula menjadi sebab terjadinya hal ini, maka tidak dianggap berbahaya untuk melakukan hal-hal baru semacam ini. Bahkan sebagian ulama berkata: sesungguhnya hal semacam ini adalah bentuk ibadah pendekatan diri kepada Allah. Hal ini benar adanya, sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melakukan salat (tarawih) secara berjamaah (yaitu keputusan yang diambil oleh Sayyidina Umar ra. dan ini tidak dilakukan pada masa Nabi ﷺ.
Di sini beliau menjelaskan adanya sesuatu yang baru dalam hal agama yang tidak bertentangan dengan syariat meskipun hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Misalnya adalah shalat tarawih secara berjamaah. Ini adalah pembaruan yang dilakukan oleh Sayidina Umar.
Baca Juga: Pembela Ahlusunah dari Bumi Samarkand
Macam-macam Bidah
Selanjutnya Imam Suyuthi menjelaskan bahwa bidah terbagi menjadi dua pembagian. Jenis-jenis bidah: Hal-hal baru itu terbagi menjadi dua, bidah baik dan bidah buruk.
Imam Syāfi‘ī berkata, “Bidah terbagi menjadi dua: bidah yang terpuji, bidah yang tercela. Adapun bidah yang sesuai dan mengokohkan sunah/tradisi Nabi ﷺ, maka bidah itu terpuji. Adapun bidah yang bertentangan dengan sunah atau tradisi Nabi ﷺ, maka bidah itu tercela. Imam Syāfi‘ī berhujah dengan ucapan Sayidina Umar ra: Nikmatnya bidah adalah ini (maksudnya shalat tarawih berjamaah).”
Beliau juga berkata bahwa segala hal yang baru dalam setiap perkara terbagi menjadi dua: pertama, segala hal baru yang bertentangan dengan al-Quran sunah Nabi ﷺ, pendapat para shahabat, atau kesepakatan ulama. Ini adalah bidah yang sesat. Kedua, hal baru yang merupakan hal baik yang di dalamnya tidak diperselisihkan dengan salah satu dari al-Qur’an, sunah, ijma, dan kias, maka hal itu adalah hal baru yang tidak tercela.
Kesimpulannya bahwa kadang ada hal-hal baru yang tidak merusak syariat bahkan menguatkannya. Misal pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf, penciptaan cabang-cabang ilmu agama, dan pengembangan teknologi transportasi, yang bisa membantu umat Muslim membaca al-Qur’an dengan lebih mudah, memahami ajaran Islam secara utuh dan benar, serta melakukan ibadah haji lebih mudah. Bidah, oleh sebab itu, ada yang baik dan ada yang buruk.
Fillah Alfiansyah | annajahsidogiri.id