Di Indonesia, masyarakat memiliki rasa cinta tanah air yang tak terpisahkan daripada perhatian masyarakat, melihat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah hasil daripada jerih payah perjuangan mereka. Rasa cinta pada tanah air ini tidak akan muncul tanpa adanya landasan. Lalu, bagaimana pandangan syariat islam terhadap cinta tanah air? Untuk selebihnya, mari kita simak penjelasan dari ustadz Fuad Abdul Wafi, Dewan Pakar Annajah Center Sidogiri, kepada Moch Rizky Febriansyah dari AnnajahSidogiri.id.
Bagaimana cara menerapkan cinta tanah air menurut Aswaja?
Terdapat dua point penting untuk bisa menerapkan cinta tanah air yang akan kami ulas sebagai berikut;
A. Tidak anti pada adat masyarakat; Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dalam karyanya Fawaidul Janniyyah pada bab al-Adah muhakkamah (adat itu bisa dijadikan pijakan hukum), beliau menjelaskan bahwa adat itu sama seperti urf dengan definisi;
مَا تَعَارَفَهُ الْعُقُولُ وَ تَلَاقَتْهُ الْائِمَةُ بِالْقَبُولِ
“Sesuatu yang dikenal oleh akal dan diterima oleh para Ulama”
Dengan pemahaman, tidak selayaknya bagi seseorang yang menerapkan hubbul-wathon (cinta tanah air) terutama di Indonesia, untuk anti pada adat masyarakat sekitar. Sebab, pertama kali yang merespon kehadiran kita ditengah-tengah masyarakat adalah adat-istiadat yang berlaku pada mereka. Maka hal itu sangat cocok dengan hadis mauquf yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud
مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“sesuatu yang dinilai baik oleh manusia maka dinilai baik oleh Allah”
Namun, semua itu selagi tidak bertentangan dengan ajaran syariat islam apalagi yang jelas-jelas diharamkan dalam agama.
B. Dengan melihat bagaimana Ulama menerapkannya: Saat kita memasuki daerah-daerah yang asing lebih-lebih tersebut adalah daerah orang Kristen, Yahudi, dan kafir yang lainnya. Maka kita tetap diperintah untuk memuliakan mereka sebagaimana yang diterangkan dalam berbagai hadis salah satunya adalah;
ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جارَهُ
Dalam hadis tersebut perintah untuk memuliakan tetangga sangatlah umum kendatipun tetangga tersebut adalah Non-Muslim. Praktek memuliakan tetangga ini sudah diterapkan oleh ulama dari dahulu, dan Wali songo termasuk yang mempraktekkannya. Dengan ketidak-antian para Ulama pada adat masyarakat yang ada, maka mereka mendapat respons baik dari masyakat tersebut.
Apa saja dalil al-Qur’an dan Hadis yang berkaitan dengan cinta tanah air?
Terdapat beberapa dalil Al-Quran ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar untuk disyariatkannya cinta tanah air, salah satunya;
A. QS. an-Nisa [4] (66);
وَلَوْ اَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ اَنِ اقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ اَوِ اخْرُجُوْا مِنْ دِيَارِكُمْ مَّا فَعَلُوْهُ اِلَّا قَلِيْلٌ مِّنْهُمْۗ
“Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.”
Kemudian, syekh Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya tafsir al-Munîr menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan disyariatkannya hubbul-wathon dan ketergantungan manusia terhadap tanah air.
B. Hadis riwayat Sahabat Anas bin Malik
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ
“Artinya: bahwa Nabi ﷺ ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkanya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah.”
Dari hadis ini, al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam karya populernya Fathul Bahri, dan juga Badru ad-Dîn al-Aini dalam Umdatu al-Qari menegaskan dengan redaksi;
وَفِيه: دَلَالَة عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الوَطَنِ وَاْلحِنَّةِ إِلَيْهِ
Bahwa hadis ini terdapat petunjuk; pertama, keutamaan Madinah dan yang kedua, disyariatkannya cinta tanah air dan rindu padanya.
Jadi, mencintai tanah air, lebih-lebih beriman ditanah air tersebut adalah sebuah anjuran dalam agama islam dengan melihat keterangan-keterangan ulama barusan.
Bagaimana cara menyikapi Nasionalisme yang hanya mengedepankan bangsa\ tanah air dari pada agama?
Dalam konteks ini, pertama-tama yang perlu diketahui adalah al-Islam ya’lu wa la yu’la alaihi, dengan artian kedudukan agama islam itu tinggi serta tidak ada yang melebihi dari kedudukan itu. Ini sudah menjadi dasar keyakinan setiap orang islam. Maka, yang menjadi tolak ukur baik-tidaknya sesuatu adalah agama Islam. Dengan kata lain, setiap agama pasti mengajarkan kebaikan yang terutamanya adalah agama Islam.
Kemudian, berkaitan dengan Nasionalisme, Nasionalisme adalah ideologi yang berasaskan rasa cinta pada tanah air dan bisa mewujudkan sikap untuk memperjuangkan kepentingan bangsa atau negara. Nah, jika memang ideologi tersebut tidak dilandasi dengan hal yang baik (tidak memprioritaskan agama, terutama islam), maka hanya akan menjadi suatu keburukan yang berkedok kebaikan. Lalu, bagaimana bisa dikatakan cinta tanah air sedangkan cara mengaplikasikanya tidak dengan hal yang baik?
Baca Juga : Buku Kiai & Habib; Upaya Kecil Membuka Kesadaran Umat
Justru, jika suatu daerah ditempati kemaksiatan, malah dimungkinkan, disuatu daerah tersebut akan terjadi suatu petaka. Hal ini dengan melirik kisah yang terjadi pada tahun 18 H di zaman kepemimpinan sayyidina Umar. Pada saat itu, sebagian penduduk daerah tersebut (Amwas) melakukan maksiat dengan meminum khamr. Kemudian gubernur pada saat itu, yang ketepatan adalah Abu Ubaid bin al-Jarah mengeksekusi para peminum khamr tersebut dengan seratus cambukan atas titah dari pada sayyidina Umar. Sayyidina Umar memprediksi bahwa tidak akan lama dari kejadian tersebut akan terjadi musibah, dan ternyata prediksi tersebut benar terjadi dengan adanya musibah Thaun amwas.
Dari cerita tersebut, bisa kita pahami bahwa mengaplikasikan cinta tanah air adalah harus dengan sebuah ketaatan, bukan malah dengan kemaksiatan, meskipun atas dasar cinta pada tanah air.
Apa dampak ketika menerapkan Hubbul Wathon dengan benar?
Dengan menerapkan Hubbul Wathon yang sesuai dengan ajaran syariat, kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Allahﷻ seperti halnya diwarisi kekuasaan bumi, kedamaian, dan lainsebagainya. sebagaimana yang tertera dalam potongan QS. An- Nur (55)
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”
Dari ayat diatas, dapat kita ketahui bersama, betapa agungnya pengaruh perbuatan baik yang dilandasi dengan keimanan kepada suatu daerah. Hingga daerah yang dilakukan kebajikan tersebut di dalamnya akan diwariskan pada orang-orang sholih sebagaimana juga yang termaktub dalam al-Anbiya (105)
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصّٰلِحُوْنَ
“Sungguh, Kami telah menuliskan di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam aż-Żikr (Lauh Mahfuz) bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”
Maka, selagi kita sendiri sebagai masyarakat tidak bisa berbuat baik, jangan berharap akan mendapatkan pemimpin yang baik. Sebab, hal demikian sangat cocok dengan hadis nabi yang berbunyi Kama takunu yuwalla `alaikum (“Sebagaimana kalian, maka demikianlah pemimpin kalian.). meskipun hadis ini dhaif, namun banyak yang menguatkannya dari segi makna. Wallahu A’lam bis Shawab.