Saat mahallul-qiyâm berlangsung, masing-masing orang yang menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad ﷺ akan serentak berdiri, sebagaimana yang terjadi di setiap pagelaran Maulid Nabi. Akan tetapi, hal ini dinyatakan sebagai bidah yang tercela oleh kalangan Wahabi, karena—menurut Wahabi—tidak pernah dicontohkan oleh Nabi. Lantas, bagaimana kita menyikapi hal ini? Mari simak kajian kami!
Sebagaimana jamak diketahui, bahwa di setiap acara maulid Nabi Muhammad ﷺ yang diisi dengan pembacaan maulid, pasti orang-orang yang hadir akan serentak berdiri tatkala mahallul-qiyâm berlangsung. Hal ini tidak lain karena bentuk takzim yang ditujukan kepada Baginda Nabi.
Namun, perbuatan yang sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat sebagai hal baik tersebut dipermasalahkan oleh kelompok Wahabi. Mereka tidak pernah berhenti dalam membidahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh Ahlusunah wal-Jamaah, termasuk mahallul-qiyâm ini. Seperti biasanya, mereka mengatakan bahwa hal demikian tidaklah berdasar dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi.
Salah satu tokoh panutan kelompok Wahabi, Ust. Yazid Jawwas, pernah mengatakan dalam al-Manhaj.or.id (Salah satu media dakwah Wahabi), “Sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Nabi akan hadir pada acara maulid Nabi. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk,” ungkapnya.
Ungkapan itu menjadi bukti bahwa kelompok Wahabi memang benar-benar tidak menerima keberadaan mahalul-qiyam ini. Mereka berpandangan bahwa hal tersebut adalah bidah, sehingga tidak boleh dilakukan. Anggapan ini tentu merupakan kesesatan dan dapat menyesatkan umat. Sebab, berdiri saat mahalul-qiyam berlangsung tidak lain sebagai bentuk takzim dan hormat kita kepada Rasulullah ﷺ.
Baca Juga; Bermaulid tidak Harus di Bulan Maulid
Dalam hal ini, as-Sayid Abi Bakar Usman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati menyatakan sebagaimana berikut: yang artinya, “Sebagaimana adat yang dilakukan oleh banyak orang, bahwa ketika nama baginda Nabi disebutkan, mereka akan serentak berdiri sebagai bentuk takzim kepada Nabi. Hal ini merupakan perbuatan yang dianggap baik (mustahsan) dan banyak dilakukan oleh para ulama (I‘ânatuht-Thâlibîn, 3/363).
Tidak hanya itu, al-Imam al-Halabi dalam kitab Sirâh-nya (1/136) mengutip sejumlah ulama yang menceritakan bahwa ketika majelis Maulid Nabi yang digelar oleh al-Imam as-Subki dihadiri para ulama di zamannya, beliau membaca syair pujian untuk Rasulullah ﷺ dengan suara lantang, sebagaimana berikut: yang artinya, ‘Sedikit pujian untuk Rasulullah ﷺ dengan tinta emas // di atas mata uang dibanding goresan indah di buku-buku // orang-orang mulia terkemuka bangkit saat mendengar namanya // berdiri berbaris atau bersimpuh di atas lutut’
Selesai membaca syair tersebut, al-Imam as-Subki kemudian berdiri dengan diikuti oleh para ulama yang hadir. Oleh karenanya, rasa bahagia pun muncul di majelis peringatan maulid Rasulullah ﷺ tersebut.
Dengan demikian, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa pandangan Wahabi dalam menanggapi mahallul-qiyâm hanyalah bualan semata, tidak didasari dalil ilmiah. Hal ini dikarenakan mahallul-qiyâm merupakan perbuatan yang sangat baik untuk dilakukan, sebagaimana keterangan-keterangan barusan. Wallahu A’lam bish-Shawwab.
M. Roviul Bada | Annajahsidogiri.id