Sungguh mengherankan ada kelompok yang menganggap tuhan mereka memiliki putra, padahal Tuhan ialah entitas agung yang tidak mungkin memilki sifat sebagaimana sifat-sifat makhluk. Apalagi memiliki putra yang pastinya mengkeroposi keagungan Tuhan mereka sedikit demi sedikit, karena kehadiran putra yang tidak abadi hanya akan mengurangi keagungan tuhan yang keabadiannya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Lebih anehnya lagi, kelompok yang berkeyakinan seperti ini bukan cuman satu kelompok saja, asumsi ini ternyata banyak dikonsumsi oleh berbagai kalangan, salah satunya ialah : ideologi musyrik Arab yang meyakini bahwa malaikat ialah putri-putri Allah ﷻ, atau Nasrani yang berkeyakinan bahwa Nabi Isa adalah putra Allah ﷻ.
Kaum Nasrani berargumen bahwa Nabi Isa tidak berasal dari sperma laki-laki manapun, kelahirannya sungguh mengejutkan, mengingat Siti Maryam Ibu Isa tidak pernah berinteraksi dengan pria manapun, apalagi jika sampai melakukan perbuatan yang hina, sungguh fakta yang mencengangkan. Dari sini kemudian mereka berasumsi bahwa yang membuat Siti Maryam hamil tidak lain adalah Allah ﷻ dengan perantara malaikat Jibril yang meniupkan roh qudus ke dalam rahim Siti Maryam.
Lantas apakah asumsi ini benar ?
Perlu diingat bukan pertama kali Allah ﷻ menciptakan manusia tanpa ayah, melainkan Allah ﷻ juga pernah menciptakan manusia tanpa ayah dan ibu. Manusia itu adalah Nabi Adam, manusia yang pertama kali hidup di dunia ini, jika mereka munuhankan Nabi Isa dengan argumen di atas, tentu Nabi Adam lebih layak mereka kultuskan mengingat kelahiran Nabi Adam tidak disertai dengan kehadiran ayah dan ibu. Namun fakta itu tidak pernah kita dapati sampai detik ini.
Baca Juga; Khataman Nabiyyin; Antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad
Kelahiran Nabi Isa tanpa seorang ayah lebih tepat untuk dijadikan argumen bahwa kuasa Allah ﷻ tidak terbatas selagi tidak menyentuh ranah wajib atau mustahil aqli.
Selanjutnya, ayat yang membungkam asumsi Kaum Nasrani di atas adalah firman Allah ﷻ
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ
“Dan Dia tidak beranak dan tidak dilahirkan”(QS. Al-Ikhlash [112]:3)
Dalam ayat ini terdapat dua poin besar yang perlu disoroti terkait dengan pembahasan di atas;
Pertama, bahwa Allah ﷻ tidak akan pernah beranak. Syekh as-Shawi memberikan dua argumen untuk menjustifikasi uraian di atas: pertama, anak hanya akan mengurangi keagungan dari tuhan sebagaimana penjelasan kami dimuka. Kehadiran seorang putra akan membuat seorang ayah seolah-olah membutuhkan bantuan untuk mengatur ciptaannya, atau paling tidak bisa menunjukan bahwa sang ayah tidak bisa mengatur dunia untuk selamanya, sehingga membutuhkan pewaris untuk meneruskan tongkat estafet kepemimpinan alam. Hal ini senada dengan uraian Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Marâhil-labîd, bahwa tabiat anak adalah mewarisi segala hak milik ayahnya[1]. Jika kedua kemungkinan ini terjadi, tentu akan menghilangkan kuasa mutlak Tuhan dan menjadikannya termasuk dari sederet dzat yang ajz (tidak mampu)[2]. Penulis rasa orang Nasrani juga sepakat akan kemustahilan qodiyah ini.
Baca Juga; Forum Lintas Agama dan Peradaban Sambut Lawatan Grand Syekh …
Kedua : tabiat dari anak juga adalah sejenis dengan ayahnya, tentu sang anak akan mewarisi DNA dari sang ayah. Sekarang kita tahu bahwa entitas dari Allah ﷻ adalah qadim, sedangkan Nabi Isa adalah entitas yang baru ada, tentu dua entitas ini memiliki DNA yang jauh berbeda, sehingga mustahil untuk dikatakan ayah dan anak, sebagai contoh anak dari pasangan manusia tidak mungkin ber-DNA babi karena kedua makhluk tersebut tentu memiliki DNA yang berbeda 180 derajat. Hanya orang bodoh yang akan berpemikiran bahwa entitas yang wajib keberadaannya akan akan mengeluarkan entitas yang keberadaannya hanya sampai taraf ‘mungkin’ saja[3].
Mungkin dari pemaparan di atas sudah bisa memberi pemahaman bahwa akidah yang dimiliki oleh Kaum Nasrani dan sempalan kaum Arab jelas keliru total, jika mereka menggunakan sedikit saja akal jernih mereka, tentu mereka tidak akan berkeyakinan seperti itu, namun tipu daya syetan kerap kali menutup dalam-dalam akal manusia sehingga bisa terperangkap kedalam pusaran jebakan akidah yang sesat.
Ahmadul Jawwad | Annajahsidogiri.id
[1] Syekh Nawawi al-Bantani, Marâl al- Labîd, juz 2, hlm. 672
[2] Syekh Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiatus-Shâwî, hlm. 499
[3] Syekh Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hâsyiatus-Shâwî, hlm. 499