Syiah memiliki keyakinan bahwa para imam mereka maksum, layaknya Nabi, baik dari dosa kecil maupun besar. Al-Hulli dalam Minhâjul-Karâmah (hal. 71) mengatakan, “Wajib bagi seorang imam memiliki sifat maksum.” Al-Majlisi dalam kitab Haqqul-Yaqîn juga menyampaikan hal yang sama (hal. 39).
Lebih lengkap lagi, Muhammad Ridha al-Mudzaffar dalam ‘Aqâidul-Imamiyah (hal. 104) mengatakan:
وَنَعْتَقِدُ أَنَّ الْإِمَامَ كَالنَبِيِّ يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنْ جَمِيْعِ الرَّذَائِلِ وَاْلفَوَاحِشِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ سِنِّ الطُّفُوْلِ إِلَى اْلمَوْتِ عَمْدًا وَسَهْوًا كَمَا يَجِبُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْصُوْمًا مِنَ السَّهْوِ وَاْلخَطَأِ وَالنِّسْيَانِ
“Kami meyakini bahwa para imam sama seperti Nabi, yakni wajib bersifatan maksum dari segala dosa, baik yang tampak ataupun samar, mulai dari balita hingga kematiannya, sengaja ataupun lupa. Sebagaimana mereka maksum dari salah dan lupa.”
Riwayat lain muncul dari al-Qummi lengkap dengan vonis bagi orang yang tak meyakini kemaksuman para imam Syiah:
اِعْتِقَادُنَا فِي اْلأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ وَاْلأَئِمَّةِ وَالْمَلَائِكَةِ عَلَيْهِمْ السَلَامُ أَنَّهُمْ مَعْصُوْمُوْنَ مُطَهَّرُوْنَ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ وَأَنَّهُمْ لَا يَذْنَبُوْنَ ذَنْبًا صَغِيْرًا وَلَا كَبِيْرًا وَلَا يَعْصُوْنَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ وَمَنْ نَفَى عَنْهُمْ العِصْمَةَ فِيْ شَيْءٍ مِنْ أَحْوَالِهِمْ فَقَدْ جَهِلَهُمْ وَمَنْ جَهِلَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ
“Keyakinan kami terkait para nabi, rasul, imam, dan malaikat, adalah maksum dan disucikan dari segala kejelekan. Mereka juga tak pernah melakukan perbuatan yang menimbulkan dosa, baik kecil maupun besar juga selalu taat dan tak pernah bermaksiat pada Allah. Maka siapa saja yang mengingkari kemaksuman dari para imam berarti ia tak mengenal mereka dengan baik, dan siapa saja yang tak mengenali mereka maka ia telah kafir.”
Dalil Kemaksuman Imam
Menurut Syiah, banyak riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa para imam mereka maksum. Misalnya Hadis yang diriwayatkan oleh al-Qummi dalam kitab ‘Uyûnu Akhbârir-Ridhâ berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ يَقُوْلُ أَنَا وَعَلِيٌّ وَاْلحَسَنُ وَاْلحُسَيْنُ وَتِسْعَةٌ مِنْ وَلَدِ اْلحُسَيْنِ مُطَهَّرُوْنَ مَعْصُوْمُوْنَ
“Dari Abdillah bin Abbas ia berkata, ‘Aku mendengar Nabi bersabda, ‘Saya, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan keturunan Husain disucikan dari segala kesalahan dan terjaga (maksum) dari segala dosa.”
Ataupun pandangan al-Qummi dalam menafsirkan surah al-Baqarah (02) ayat ke 124, ia mengatakan:
فَإِذَنْ لَا يَكُوْنُ الإِمَامُ إِلَّا مَعْصُوْمًا وَلَا تُعْلَمُ عِصْمَتُهُ إِلَّا بِنَصِّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ
“Jika demikian maka imam wajib bersifatan maksum dan kemaksuman mereka tidak dapat diketahui kecuali dari nas al-Qur’an.” (Kitâbul-Khisâl [1/310])
Kesimpulan yang ia peroleh tentang kemaksuman imam di atas dengan opini, bahwasannya seorang imam tidaklah boleh berbuat zalim. Sebab jika berbuat zalim maka menyalahi surah al-Baqarah ayat 124.
Begitupula statement yang mereka buat, bahwa imam wajib maksum: Sebab jika mereka tidak maksum maka bagaimana umat mengikuti mereka? Sedangkan Allah memerintah umat untuk patuh serta tunduk pada perintah imam, sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 59.
Setidaknya tiga dalil di atas sudah cukup menjadi dasar wajibnya maksum bagi seorang imam, menurut pandangan Syiah. Lantas, bagaimana Ahlusunah menjawab dalil-dalil Syiah di atas?
Pertama. Terkait hadis yang diriwayatkan oleh al-Qummi ternyata adalah hadis maudu’, hadis buat-buatan Syiah yang disandarkan pada Ibnu Abbas. Hal ini diungkapkan oleh Ihsan Ilahi Dzahir dalam Kitâbut-Tasawwuf; al-Mansya’ mal-Mashâdir.
Kedua. Dalam surah al-Baqarah ayat 124 disebutkan bahwa janji Allah tidak akan diberikan pada orang zalim. Ayat tersebut memang benar demikian, hanya saja Syiah memahami ayat tersebut bahwa jika para imam tidak boleh zalim, maka harus maksum.
Tentu ini adalah pemahaman yang rancu. Tak ada para mufasir yang memahami ayat tersebut sebagaimana yang dipahami oleh para mufasir Syiah.
Memang benar seorang imam tidak boleh diangkat dari orang zalim, sebagaimana riwayat dari Imam Mujahid yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Hanya saja, tidak boleh zalim bukan berarti harus maksum.
Imam al-Alusi dalam tafsir Rûhul-Ma’ânî menyebutkan makna zalim sebagai berikut:
وَحَمْلُ الظَالِمِ عَلَى مَنْ اِرْتَكَبَ مَعْصِيَةً مُسْقِطَةً لِلْعَدَالَةِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ الظُلْمَ خِلَافُ اْلعَدْلِ
“Pemaknaan zalim dengan ‘orang yang melakukan maksiat yang dapat menggugurkan keadilan’ didasari pada makna dzulmun sebagai antonim dari adil.”
Jadi seorang imam itu tidak boleh melakukan kezaliman yang sampai mengugurkan sifat keadilannya, bukan harus maksum. Sebab maksum berarti terjaga dari segala dosa. Sedangkan zalim, ia melakukan dosa tapi mentaubati dosa yang ia lakukan.
Ketiga. Allah memang mewajibkan bagi umat untuk taat pada imam, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama dan dinas dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 59. Hanya saja yang perlu digaris bawahi bahwa kewajiban taat pada imam selagi perintahnya tak menyalahi syariat. Maka jika ada imam yang menyalahi syariat tak perlu kita ikuti.
Tapi demikian itu tidak malah mewajibkan kemaksuman pada imam. Karena imam hanya mengikuti syariat yang Allah berikan, bukan pencetus syariat. Maka Ketika perintahnya menyalahi syariat, tidak boleh kita ikuti. (Kitâbut-Tasawwuf; al-Mansya’ mal-Mashâdir)
Ghazali | Annajahsidogiri.id