Dalam artikel sebelumnya telah kami uraikan tentang definisi Wahdatul Wujûd dan sedikit penjelasan tentang istilah ittihad wa hulul. Dalam tulisan ini, kami akan paparkan lebih spesifik lagi tentang perbedaan Wahdatul Wujûddan ittihad wa hulul.
Wahdatul Wujûd merupakan suatu maqom (tingkatan) dalam tasawuf yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang sudah mencapai tingkatan makrifat.
Terkadang seorang arifin yang telah mencapai maqom Wahdatul Wujûdtidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, sehingga dia tidak menganggap keberadaan sesuatu selain Allah.
Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam kitabnya Al-hikam Al-Athaiyyah Menyebutkan :
الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَإِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُورُ الْحَقِّ فِيهِ
“Semua alam itu gelap dan yang menjadikan alam terang adalah wujudnya Allah di dalamnya.”
Makna dari kalam hikmah Ibnu Athaillah di atas ialah, selain Allah secara hakikat itu tidak ada (tidak Wujûd), dan yang menjadikannya ada adalah Wujûdnya Allah di dalamnya.
Kalam hikmah yang telah di sampaikan oleh Ibnu Athaillah di atas merupakan salah satu gambaran keadaan orang yang telah mencapai maqom wahdatul wujud.
Para wali yang telah mencapai maqom wahdatul wujud terkadang mengeluarkan kata-kata yang secara hukum syariat itu dilarang, seperti perkataannya Syekh Yusuf al-Hallaj : [1]انا الله (saya adalah Allah) , asy-Syibli : ما فى الجبة الا الله [2] (yang di dalam jubah hanyalah Allah),Syekh al-Jailani : [3] أنا هو(saya adalah Allah), dan al-Bashthomi [4] :سبحاني سبحاني (maha suci saya, maha suci saya) .
Sesuatu yang terjadi pada wali yang sedang berada di maqom wahdatul wujud, sudah di isyarahkan oleh hadis qudsi:
وَلاَ يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا
“Dan hambaku yang selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah) maka Aku akan mencintainya dan jika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang digunakan untuk memukul dan kakinya yang digunakan untuk berjalan”[5].
Semua perkataan dan tindakan waliyullah ketika berada di maqom wahdatul wujud adalah benar, Sebab mereka diposisikan seperti orang mabuk yang tidak sadarkan diri . oleh karena itu, mereka dianggap udzur. Dan bagi orang yang masih belum mencapai maqom ini tidak boleh menirunya, sebab kalau tindakan dan perkataannya ditiru, bisa mengakibatkan orang tersebut keluar dari agama islam (murtad) . Syekh Muhammad al-Kurdi menyebutkan dalam kitab Tanwirul-Qulub hlm. 42:
الْقَوْلُ بِوَحْدَةِ الْوُجُودِ منْ سكرِالْوَقْت وَغَلَبَة الْحَالِ، يُعْذَرُ صَاحِبُهُ انْ كَانَ مَغْلُوبًا، وَلَا يَصِحُّ تَقْلِيدُ غَيْرِهِ لَهُ
“Ungkapan wahdatul wujud adalah orang yang dalam keadaan mabuk dan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri, dan orang yang mengalaminya itu dianggap udzur jika memang ia tidak bisa mengendalikan keadaannya. Dan bagi orang lain dilarang untuk mengikuti wali yang sedang berada di maqom wahdatul wujûd.”
Catatan penting
Sudah sempat kami jelaskan sekilas di artikel sebelumnya bahwa pengertian Wahdatul Wujûd itu bukanlah manusia menyatu dengan Allah (الإتحاد) dan Allah bersemayam di dalam jiwa manusia (حلول). Sebab kedua-duanya itu mustahil terjadi kepada Allah, orang yang meyakini bahwa pengertian Wahdatul Wujûd adalah ittihad wa hulul atau mengaku-ngaku bahwa dia sudah mencapai maqom wahdatul wujud padahal sebenarnya tidak, maka orang yang seperti ini hukumnya kafir secara ijma’ ulama.
Imam Jalaluddīn Abdurrahman bin Abu Bakar atau biasa dikenal dengan Imam as-Suyūthi dalam kitab al-Hâwî lil-Fatâwî fil-Fiqhi wa Ulûmit-Tafsîr wal-Hadîs wal-Ushûl wa-Nahwi wal-I‘râb wa Sâ’iril-Funûn hlm. 125 menukil pada perkataanya Imam Al-Qadhi ‘Iyadh, sebagaimana berikut:
وَقَالَ قَاضِي الْعِيَاضِ فِي الشِّفَاءِ مَا مَعْنَاهُ : أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى كُفْرِ أَصْحَابِ الْحُلُولِ وَمَنْ ادَّعَى حُلُولَ الْبَارِي سُبْحَانَهُ فِي احَدِ الْأَشْخَاصِ كَقَوْلِ بَعْضِ الْمُتَصَوِّفَةِ وَالْبَاطِنِيَّةِ وَالنَّصرَى وَالْقَرَامِيطَةِ
“Imam Al-Qadhi ‘Iyadh berkata dalam kitab asy-Syifa: ulama umat Islam sepakat atas kafirnya orang yang berkeyakinan hulūl (Allah bersemayam di dalam jiwa manusia) dan orang yang mengaku-ngaku bahwa Allah itu bersemayam pada salah satu manusia. Sebagaimana perkataan sebagian kaum sufi, bāthīniyah, nashara, dan qarāmīthah.”
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1] Syeikh ibrahim bin muhammad al-baijuri, tuhfatul murid hlm. 33
[2] Abdul wahab Asy-sya’rani, ta’wīl As-syaṭḥi hlm. 61
[3] Abdul wahab Asy-sya’rani, ta’wīl As-syaṭḥi hlm. 45
[4] Abdul wahab Asy-sya’rani, ta’wīl As-syaṭḥi hlm. 45
[5] Syekh Ahmad Nawawi bin Abd djalil dalam kitab Al-ma’man min al-dzhalalah hlm. 48