4. Benarkah Tafsir klasik penyebab kemunduran Islam?
Untuk memajukan zaman sebenarnya harus ada peran dari berbagai macam elemen masyarakat, tidak dari ulama saja, tapi harus ada peran dari dari para ulama, umarak dan masyarakat juga. Untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, yang kerjanya maen hp tok, jika di beri pelajaran tentang tafsir yang ruwet mereka tidak akan maju dengan hal itu, malah akan membuat mereka semakin bingung. Sehingga yang paling tahu untuk memajukan umat ini adalah ulama.
Lanuhyiyannahu hayatan tayyibah itu janji Allah kalau mau mengikuti ulama, jadi para ulama kita di pondok-pondok mereka tetap mengajarkan al-Quran, mereka tetap mengajarkan kitab salaf, namun dibumbuhi keterangan tambahan di luar kitab salaf. Jadi, itu metode yang digunakan ulama sekarang untuk memajukan generasi yang ada di masa sekarang. Jadi mereka tetap menggunakan kitab salaf tapi penjelasannya bisa baru sehingga mereka memiliki taalluq dengan kitab tanpa meninggalkan ulama masa kini, sebagaima KH. Maimun Zubair, Gus Baha dll. Jadi, mereka tetap menggunakan kitab salaf (klasik) cuman untuk memahamkan umat, mereka menjelaskannya sesuai dengan kedaan masyarakat atau apa yang masyarakat perlukan. Jadi tidak selalu membahas hal-hal yang menjadi pemabahasan di luar masyarakat.
Nah, kalau untuk menjadikan standar Islam secara umum di Indonesia misalnya, tidak mungkin untuk menjelaskan faedah-faedah ayat, atau ayat ini kalau dibaca maka istrinya cantik, rezekinya lancar, manfaat untuk ini itu dll. Mungkin itu terjadi di kelas-kelas kampung atau masyarakat kecil saja. Namun, untuk kelas Indonesia sudah barang tentu hal yang dibawa para ulama itu adalah apa yang dibawa oleh para nabi terdahulu karena para ulama merupakan warasatul anbiya’ yakni membawa I’lai kalimatillah, lailahaillalah muhammadur rasulullah.
5. Bila kita perhatikan ternyata dampak dari penggunakan hermeneutika justru merusak ajaran Islam, bahkan hingga yang paling fundamental?
Kalau disepakati bahwa hermeunatika ini merusak karena tafsiran bebas tanpa mengikuti aturan baku ulama, maka tidak usah statement dari para ulama atau tokoh bahwa heramantika itu rusak, cukuplah statement dari Allah lau ittabaal haqqu ahwa ahum. Al-Quran kalau ikut penafsiran orang banyak yang sifatnya hawa nafsu maka pasti akan terjadi kerusakan, harusnya kan al ahwak yattabiul haq tapi di sini justru al haq yattabiul hawa, kalau memang sudah disepakati bahwa tafsir hermenutika itu merusak, maka sudah pasti masuk dalam cakupan ayat itu, artinya ayat itu menjadi kebenaran bahwa tafsir hermenutika itu merusak.
Tapi kalau ada penafsiran ulama yang judulnya saja hermenutika, namun kenyataannya bukan hermeneutika bahkan mereka mencintai al-Quran, menghormati al-Quran, mungkin di antara niatnya karena mereka ingin memasukkan Islam di dunia atau Islam di Barat. Namun, mereka hanya bertutup dengan judul-judul hermeneutika, tapi yang disampaikan adalah tafsir kita (klasik), maka ini adalah cara dakwah yang baik. Jadi judulnya saja heremenutika, wong orang orang yang belajar kok tidak sekaliber mereka. Mungkin ada yang bertameng pada judul saja, mungkin ada yang betul-betul mneggunakan hermenatika untuk merusak, makanya saya katakan tadi in takunu sholihina fainnalloh kana lil awwabina gofura pokok nya yang meyampaikan ini salih, kalau tidak salih maka bahaya.
Baca Juga : Menyoal Relevansi Tafsir Ulama Klasik
Yang terakhir la yukminu ahadukum hatta takuna hawahu taba’an lima ji’tu bihi, tapi ada ayat walau ittabaan alhaqqu ahwaahum. Jika Kebenaran mengikuti hawa nafus, tafsir-tafsir yang dikuasai hawa nafsu maka yang terjadi adalah kerusakan. kita sebagai orang muslim harus memiliki komitmen yang jelas pada hadis ini la yukminu ahadukum hatta takuna hawahu…… hawa nafsu kita yang harus mengikuti kebenaran yang diajarkan Nabi tentang masalah keislaman dan keagamaan, yang mana keadaan ini di antara janji Allah sanurihim nin ayatina fil afaqq wa fi anfusihim hatta yatabayyana al haqqu .
Inti dari apa saja yang disampaikan tafsiran ulama kita tentang hal-hal yang modern, penemuan-penemuan tentang al quran itu intinya cuma satu, hatta yatabayyana lahu annahul haq.Intinya bahwa al-Quran ini benar, bukan menjadikan al-Quran sebagai kitab sejarah, melainkan membuktikan bahwa al-Quran itu benar-benar kalamullah dari dulu sampai kapanpun. Otomatis al-Quran itu pasti relevan dari dulu sampai kapanpun dan itulah tujuan yang diangkat para ulama ketika membahas tentang hal-hal yang modern, baik itu dengan berjubah hermenutika atau berjubah cara penafsiran Liberal, atau berjubah apapun, tapi kalau itu yang disampaikan maka sesuai dengan ayat laintakunu sholihin.
6. Pesan Kiai?
Pesan saya mungkin sama dengan Apa yang disampaikan Imam Syafii: Man taallamal quran adzumat qimatuhu, artinya dia mencintai apa yang telah dibahas para ulama, walaupun dia bukan ulama dia bisa ikut-ikutan ulama dengan membahas al-Quran. Hendaknya kita jadikan sebuah tolak ukur kesolehan kita, sebanyak apa kita mempelajari al-Quran, men-tadabburi quran, sebayak itulah kita menjadi dekat dengan Allah. Sebab, kata Allah, untuk menjadi tolak ukur matinya hati seseorang itu gampang. Allah mengatakan afala yatadabbaruna quran am ala qulubin aqfaluha. Jadi, sekali mau tadabbur otomatis hatinya terbuka, jika tidak mau tadabbur maka hatinya tertutup. Jadi, intinya hati ingin bersih ingin terbuka baca quran, jika tidak mau ya berarti hatinya tertutup.
Abd Jalil | Annajahsidogiri.id