إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41) مريم: 41
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujurlagi seorang Nabi”
(QS. Maryam [19:41]).
Baca Juga: Nabi Ibrahim Pernah Syirik?
Perjalanan hidup seorang nabi pasti akan memberi pengaruh terhadap perjalanan dakwahnya, baik sebelum atau sesudah ia terangkat menjadi nabi, harus terjaga (maksum). Sampai tidak terdeteksi satu pun celah untuk menjatuhkan mereka (Lihat: Minhatul Hamîd Syarhu Jauharatit-Tauhîd hal.152). Dalam kitab ‘Ishmatul-Anbiyâ’ Imam Fakhruddin ar-Razi menyatakan, “Seluruh Umat Islam telah sepakat bahwa para nabi terjaga (maksum)” (Lihat: ‘Ishmatul-Anbiyâ’ hal.39) Allah berfirman kepada Nabi Musa sewaktu kecil:
{ وَأَلْقَيْتُ عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي (39)} [طه: 39]
“Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu selalu berada di bawah pengawasan-Ku”(QS. Taha [20:30]).
Namun, ketika kita membaca hadis Nabi tentang syafaat, kita akan menemukan kejanggalan dengan jawaban Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata, “Saya pernah berbohong tiga kali” kemudian Nabi Muhammad melanjutkan, “Tidak ada dari kebohongan itu kecuali untuk berdebat membela agama Allah” (HR. Tirmidzi) Imam Tirmidzi mengkategorikan hadis ini sebagai hadis hasan.
Bagaimana dengan Nabi Ibrahim? Dalam ilmu balaghah, kita mengenal istilah ta’rîdh. Maksud ta’rîdh sendiri adalah lafadz yang makna aslinya memberi isyarat pada makna yang lain. Seperti yang biasa terjadi ketika seseorang akan melamar. Ia berkata, “Banyak orang mencintaimu”. Padahal, yang ia maksud adalah ia sendiri. Maka dalam kasus ini tidak termasuk ‘kebohongan’. Apalagi ada tujuan syar’i seperti jawaban Nabi Ibrahim ketika ditanya raja Namrudh, “Nabi Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara” (QS. al-Anbiyâ’ [21:63]). Tujuan beliau adalah untuk menyadarkan Raja Namrudh dan kaumnya bahwa Tuhan-Tuhan yang mereka sembah tidak mampu berbicara. Mengenai ta’ridh, Nabi Muhammad r pernah bersabda bersabda, “Sesungguhnya dalam ta’ridh terdapat keterbebasan dari kebohongan” (HR. Al-Buhkhari).
Baca Juga: Keputusan Final Ihwal Transfer Amal
Maka, al-Imam al-Baidowi menyatakan bahwa maksud tiga kalimat tersebut adalah ta’rîdh (pengalihan pernyataan) karena ada maksud syar’i. Nabi Ibrahim mengkategorikan tiga kalimat itu sebagai bentuk dari ‘kebohongan’, adalah untuk menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim tidak memiliki keistimewaan bisa memberi syafaat layaknya Nabi Muhammad (Lihat: Tuhfatul-Ahwâdzî juz.8 hal.587). Jadi, pernyataan Nabi Ibrahim pada hakikatnya tidak bisa dikategorikan ke dalam ‘kebohongan’. Karena, semua yang Nabi Ibrahim katakan adalah sesuai dengan kenyataan. Allah berfirman:
{وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا (41)} [مريم: 41]
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat jujurlagi seorang Nabi” (QS. Maryam [19:41]).
Abdul Muid|Annajahsidogiri.id