Sebagian orang bergaya meniru Nabi Ibrahim yang ‘enggan’ berdoa kepada Allah untuk diselamatkan dari kobaran api, ketika beliau oleh Namrudz hendak dilemparkan ke dalamnya. Pada detik-detik itu, Nabi Ibrahim hanya berucap: “Hasbiyallah wa ni‘mal-wakil” (Cukuplah Allah menjadi penolong bagiku, dan Dia sebaik-baik pelindung). (HR. Al-Bukhari).
Padahal, dalam sejumlah ayat al-Quran diterangkan tentang doa-doa Nabi Ibrahim, yang menunjukkan bahwa beliau banyak memanjatkan doa-doa, seperti di dalam surat al-Baqarah [2]: 126-129, asy-Syu‘ara’ [26]: 83-89, dan ash-Shaffat [37]: 100. Bagaimana tidak, sedangkan doa adalah ekspresi keberhambaan seseorang terhadap Rabb dan Penciptanya, sedangkan para nabi adalah orang-orang yang paling sempurna dalam mengekspresikan sifat keberhambaan itu.
Baca juga: Keberadaan Allah Bisa Dirasionalkan (1/2)
Lalu kenapa Nabi Ibrahim tidak mau berdoa ketika hendak dilemparkan ke dalam api? Jawabannya karena pada saat itu keadaan spiritual beliau sedang dikuasai oleh perasaan percaya penuh dengan perlindungan dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi bagaimana mungkin orang yang sedang dikuasai perasaan percaya penuh akan perlindungan, pertolongan, dan rahmat Allah akan sempat meminta? Tentu itu akan kontraproduktif. Itulah mengapa yang terucap dari Nabi Ibrahim hanya kalimat di atas.
Tapi dalam keadaan yang berbeda, keadaan spiritual Nabi Ibrahim dikuasai oleh perasaan kelemahan seorang hamba, yang tidak mungkin bisa memenuhi hak-hak Rabbnya, Tuhan Penciptanya; dipenuhi perasaan bersalah, sehingga takut akan siksa-Nya dan senantiasa berharap akan ampunan-Nya. Dalam keadaan kedua inilah, dari lisan mulia Nabi Ibrahim terpanjatkan doa-doa, sebagaimana diabadikan oleh al-Quran, pada ayat-ayat di atas.
Dua keadaan yang berbeda ini akan mengingatkan kita pada kisah hijrah Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Beliau memulainya dengan berbagai ikhtiar bagaimana sekiranya tidak diketahui oleh orang-orang kafir; menyuruh Sayyidina Ali tidur di tempat beliau, mengambil rute yang tidak biasa, menghapus jejak kaki dengan jejak-jejak kambing, dan bersembunyi di dalam goa.
Hingga ketika segala ikhtiar sudah dilakukan, keadaan spiritual beliau telah dikuasai perasaan berserah diri total kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, percaya penuh akan perlindungan dan pertolongan-Nya, sehingga kendati orang kafir bernama Suraqah menemukan beliau dan bisa dengan leluasa membunuh beliau, beliau tetap tenang, tidak bergeming, karena begitu yakin dengan perlindungan Allah.
Baca juga: Keluarnya Dabbah Sebagai Tanda Kiamat
Hal yang sama bisa Anda lihat dari kisah Nabi Musa dalam al-Quran. Ketika beliau sedang dikuasai oleh perasaan kehambaan yang tidak memiliki daya dan upaya tanpa kekuatan dari-Nya, maka beliau berdoa: “Ya Tuhanku, sungguh, aku takut mereka akan mendustakan aku, sehingga dadaku terasa sempit dan lidahku tidak lancar, maka utuslah Harun (bersamaku). Sebab aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.” (QS. Asy-Syu‘ara’ [26]: 12-14).
Tapi ketika beliau tengah dikuasai perasaan percaya penuh akan pertolongan dan perlindungan Allah, maka beliau tetap tenang pada saat semua orang kebingungan karena Fir’aun dan tentaranya telah begitu dekat. Al-Quran mengisahkan: Maka ketika kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa, “Kita benar-benar akan tersusul.” Dia (Musa) menjawab, “Sekali-kali tidak akan (tersusul); sesungguhnya Tuhanku bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu‘ara’ [26]: 61-62).
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Pondok Pesantren Sidogiri