Di negara kita, tokoh atau kiai adalah muara ilmu bagi masyarakat kebanyakan, karena cara mereka dalam berbaur dan berdakwah kian membuat kelekatan tersendiri di hati para pengikutnya. Sehingga banyak dari amaliah bagus para tokoh juga memberikan dampak yang signifikan bagi amaliah para pengikutnya. Namun yang menjadi titik yang kurang mengenakkan adalah ketidak pekaan para pengikut dalam bertaklid, sehingga mereka juga membawa-bawa nama tokoh saat berbuat keburukan, padahal amaliah buruk yang tidak sengaja terlihat oleh pengikutnya tidak sepatutnya dijadikan sebagai bahan teladan.
Tidak sampai di situ, langkah mengikuti tokoh agama dalam hal keburukan seakan menjadi suatu hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan, dengan dalih bahwa tokoh tersebut sudah pernah melakukan hal yang sama, sehingga hukum makruh dan dan haram seakan sudah menjelma menjadi hal mubah bagi para pengikutnya.
Baca Juga: Bukti Sifat Wujud Allah Sebelum Alam Diciptakan
Dalam agama, tindakan seperti di atas sama sekali tidak dibenarkan, banyak dari ayat al-Quran maupun hadist yang menegaskan agar tetap menjaga porsi taklid pada seorang tokoh, bila buruk maka tetap keburukan. Oleh karenanya konteks maksiat tidak bisa dibawa-bawa dalam ranah taat kepada Allah, karena keburukan tetaplah keburukan, kebaikan tetaplah kebaikan. Maka problematika awam yang hanya bermodalkan tokoh agama dapat dengan mudahnya ditangkis dengan rasio di atas. Tindakan buruk atau jelek seorang tokoh agama seharusnya menjadi keharusan untuk mengingatkannya, bukan malah terbawa arus sesatnya.
Al-Allamah al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, dalam kitabnya ad-Da’wah at-Tammah wat Tadzakurah al-Âmmah berpendapat bahwa orang awam yang melihat perbuatan atau amaliah ulama yang tidak diketahui benar atau salah, maka tidak boleh diikuti sebelum ia benar-benar tahu apakah ada legalitas dari agama terkait amaliahnya atau tidak. Maka sangat tidak cukup bila kita mengikuti amaliah ulama hanya bermodalkan penglihatan dan beralasan status mereka yang sudah alim, tanpa tahu-menahu alasan yang mendasari perbuatan dan amaliah mereka tersebut.
Sehingga mengikuti perbuatan dan amaliah mereka dilarang bila hanya sebatas melihat, juga perlu adanya filter kapan boleh diikuti atau tidak, sebab para ulama bukan orang maksum yang bisa terjaga dari keluputan dan keburukan, bahkan bila ada kejanggalan dari perlakuan mereka, harus ada tindakan, bila sesuai tuntunan syariat diikuti bila tidak maka ditinggalkan. Oleh karenanya juga perlu adanya kesadaran tersendiri bagi awam dalam mengikuti tokoh yang mereka jadikan panutan.
Baca Juga: Mengupas Taklid Luar-Dalam
Semua amaliah kita akan dimintakan pertanggung jawaban, tidak akan ada amaliah satu pun yang akan terlewat dari hisab kelak di akhirat nanti, terlebih bila hal itu masuk dalam ranah agama, justru kita akan dimintakan pertanggung jawaban pada siapakah kita mengikuti perbuatan tersebut dan mengapa kita mengikuti apabila perbuatan itu ternyata tidak mendapatkan legalitas dari agama. Oleh sebabnya, semua perlakuan para ulama bila benar-benar salah tidak boleh dijadikan pedoman apalagi diikuti, karena sekali lagi, amaliah kita akan dimintakan pertanggungjawaban.
Kesimpulannya, agama Islam mengajarkan kita beretika dalam bertaklid, dengan mengikuti tokoh agama tidak hanya sebatas taklid, namun juga disertai dengan ilmu dan logika bila memang dibutuhkan, dan tidak boleh mengikuti mereka dalam hal yang tidak sepatutnya diikuti. Di sisi lain, kita juga mempunyai tanggung jawab untuk belajar dan mencari ilmu, tidak bermodalkan suapan ilmu dari orang lain.
Dzu Fadlillah | AnnajahSidogiri.ID