Setelah pada tulisan sebelumnya dijelaskan tentang fungsi dan tugas Singa Aswaja, yaitu untuk menjaga akidah umat Islam Ahlusunah wal-Jamaah dari rongrongan pemikiran para ahli bidah yang merusak, maka pada tulisan kali ini akan diuraikan secara singkat tentang objek yang dijaga oleh para Singa Aswaja itu, sebab akidah tauhid itu terdiri dari beberapa elemen yang berlapis. Begitu pula umat Islam awam yang terpengaruh pemikiran sesat juga memiliki tingkat kerusakan yang beragam. Tidak semua elemen akidah bisa dijaga oleh Singa Aswaja, sebagaimana tidak semua orang sesat bisa dipulihkan oleh Singa Aswaja.
Al-Imam al-Gazali dalam masterpiece-nya, Ihya’ ‘Ulumiddin, menjelaskan bahwa tauhid itu terdiri dari tiga elemen, yaitu kulit lapisan luar (al-qasyrul-awwal), kulit lapisan dalam (al-qasyruts-tsani), dan isi atau inti (al-lubb).
Kulit lapisan luar adalah perkataan “La ilaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah). Perkataan ini disebut dengan “tauhid”, yang menegasikan terhadap akidah Trinitarianisme Kristen. Namun, perkataan yang sama juga bisa muncul dari orang munafik, yang isi hatinya tidak berkesesuaian dengan apa yang diucapkannya.
Adapun kulit lapisan dalam dari tauhid adalah ketika di dalam hati seseorang tidak terdapat sesuatu yang menyalahi atau mengingkari terhadap mafhum dari kalimat “La ilaha illallah”, bahkan hati itu sepenuhnya meyakini dan membenarkan terhadap makna yang terkandung di dalam kalimat itu.
Tentu saja orang munafik absen dari lapisan tauhid yang kedua ini. Lapisan kulit dalam ini adalah tauhidnya kebanyakan umat Islam (kalangan awam), dan aspek inilah yang dijaga oleh para Singa Aswaja, agar keimanan yang tertanam di dalam hati umat Islam awam tidak diombang-ambingkan oleh gelombang pemikiran ahli bidah yang menerjang dari berbagai penjuru.
Sedangkan elemen isi atau inti dari tauhid adalah ketika seseorang dapat meyakini dan merasakan bahwa segala sesuatu itu dari Allah semua, sehingga ia melihat pada hakikatnya segala perantara, sarana, dan sebab-sebab natural itu tidak memiliki fungsi dan kekuatan yang hakiki. Hanya Allahlah satu-satunya sebab dan kekuatan yang menjadi sumber dari segala sesuatu.
Nah, elemen inti atau isi dari tauhid inilah yang merupakan hakikat tauhid, yang merupakan keimanan para shiddiqin (orang-orang yang memiliki kesejatian dalam akidahnya), dan tentu elemen tauhid ini tidak memerlukan penjagaan dari Singan Aswaja, dan bahkan elemen inti ini tidak bisa dijangkau oleh ilmu kalam yang menjadi keahlian para Singa Aswaja, sebagaimana telah alfagir jelaskan pada tulisan berjudul Tahapan Penanaman dan Pemantapan Akidah (3/3).
Selanjutnya, pasien sesat yang bisa diatasi oleh Singa Aswaja adalah orang awam yang terpapar pemikiran bidah (sesat) yang tidak sampai fanatik akut terhadap pemikiran sesatnya itu. Jadi orang yang terjangkit pemikiran sesat yang sudah sampai fanatik akut, maka tidak bisa ditangani oleh Singa Aswaja manapun. Karena ribuan dalil, sekuat apapun, tidak akan mampu memalingkan orang fanatik dari kepercayaan sesatnya.
Dari sini kita mengerti betapa bahaya fanatisme terhadap pemikiran sesat, karena sifat itu bisa melumpuhkan akal sehat, sehingga tidak bisa berfungsi sama sekali. Ketika akal sehat sudah tersumbat, maka dalil-dalil dan nalar jernih dari Singa Aswaja tidak banyak berguna.
Bahkan, lebih jauh al-Gazali memperingatkan Singa Aswaja agar tidak fanatik berlebihan terhadap pemikiran dan pendapatnya, sekalipun itu benar. Karena sifat itu bisa mendorong mereka memandang kepada lawan dengan pandangan meremehkan dan merendahkan, yang membikin lawan mereaksi dengan tindakan yang sama. Maka alih-alih lawan tobat dari pemikiran sesatnya, justru kesesatannya semakin semakin menjadi-jadi.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri