Kali ini, al-faqir ingin membahas secara singkat tentang bagaimana gerakan keagamaan yang lahir di pedalaman Najd ini, bisa berkembang menjadi kekuatan militer dan politik yang kuat. sampai-sampai gerakan ini berani membangkang dan menantang pada kekuasaan Islam global kala itu di bawah Kesultanan Dinasti Utsmani.
Pada akhir abad ke-11 H, sebuah gerakan reformasi Islam muncul dari kawasan Najd, wilayah terpencil di tengah Jazirah Arab. Gerakan ini dipelopori oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang ulama yang dikenal sangat benci jika melihat merebaknya praktik-praktik yang ia anggap sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
Dengan semangat tauhid dan memberantas segala macam kesyirikan sebagai fondasi utama, Syekh Abdul Wahab selalu berkoar-koar menyerukan untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah, serta menolak keras segala bentuk syirik, bid’ah, dan khurafat termasuk praktik ziarah kubur, tabarruk, dan perayaan-perayaan spiritual keagamaan lainnya yang mereka anggap bahwa hal tersebut tidak pernah dicontohkan Nabi ﷺ.
Baca Juga; Keterlibatan Inggris Dalam Kampanye Wahabisme
Namun sayangnya, implementasi gerakan ini kerap kali disertai dengan tindakan yang keras dan pendekatan yang radikal. Bahkan, para pengikut Wahabi- dengan meyakini bahwa ajaran merekalah yang paling murni- tidak hanya mengecam dan memberi ancaman, akan tetapi mereka juga mengkafirkan sesama Muslim yang tak sepaham.
Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem, mereka tidak segan-segan menghancurkan makam dan kubah-kubah para wali yang dianggap memicu praktik syirik. Hingga pada akhirnya tindakan mereka ini banyak mendapatkan kritikan dan kecaman dari para ulama di masanya, sebab gerakan ini mereka anggap sebagai gerakan yang melenceng begitu jauh dari rel agama Islam yang benar, yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, sahabat, tabi’in.
Pada tahun 1157H/1447M. Kesadaran akan pentingnya kekuatan politik membuat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjalin persekutuan strategis dengan Muhammad bin Saud, penguasa Diriyah saat itu. Aliansi ini bukan hanya menyatukan kepentingan dakwah dan kekuasaan, tapi juga membuka jalan bagi terbentuknya cikal bakal Negara Saudi pertama. Sebab dalam aliansi politik antara keduanya, di samping Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab membaiat kepemimpinan Muhammad bin Saud dan menunjukkan kesetiaan pada kepemimpinannya serta konsistensi dalam mentaati segala macam aturan, Muhammad bin Saud juga memberikan persyaratan agar Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab memberikan loyalitas penuh kepadanya untuk menjalankan visi-misi dan mengambil pajak serta keuntungan apa saja yang ada di Diriyah sesuka hatinya.[1]
Dengan dukungan militer dari keluarga Saud, ajaran Wahabi semakin menyebar luas ke berbagai wilayah Jazirah Arab. Namun, ekspansi tersebut tidak diterima begitu saja. Akan tetapi banyak pula masyarakat, terutama yang menganut tradisi tasawuf dan praktik Islam yang lebih inklusif, melawan keras terhadap ajaran, doktrin dan dominasi Wahabi. Sehingga perlawanan demi perlawanan mewarnai sejarah awal gerakan ini.
Ambisi Wahabi tak berhenti di Najd saja. Bahkan di sela-sela dakwahnya, mereka berinisiatif dan mendoktrin masyarakat untuk menentang dan membangkang terhadap Kesultanan Utsmaniyah. Sebab, Kesultanan Utsmaniyah mereka anggap sebagai pemicu utama atas menyebarnya kesyirikan–kesyirikan yang ada.
Baca Juga; Awam dan Kewajibannya Terhadap Hukum Syariat
Tak sampai di situ. Setelah wafatnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab pada awal abad ke-12 H, pasukan gabungan Wahabi dan keluarga Saud berhasil merebut Hijaz, termasuk dua kota suci: Mekah dan Madinah. Namun keberhasilan ini tidak hanya berbuah manis saja, akan tetapi juga menciptakan gelombang kemarahan di dunia Islam. Hal itu bukan hanya karena perebutan kota suci, tetapi juga karena tindakan Wahabi yang menghancurkan situs-situs bersejarah dan keagamaan, termasuk makam para sahabat Nabi ﷺ yang berada di kompleks pemakaman Baqi’.[2]
Tindakan ini dianggap sebagai penghinaan terhadap warisan spiritual Islam, dan secara langsung menjadi tantangan besar bagi Kesultanan Utsmaniyah, yang kala itu merupakan pemegang kekuasaan Islam global.
Lalu bagaimana cara Kesultanan Utsmaniyah dalam merespons ancaman tersebut?
Bersambung….
Moh Khafidz | Annajahsidogiri.id
[1] Mauqif ad-Daulah al-Utsmaniyah min al-Harakah ad-Diniyah al-Infishaliyah al-Wahhabiyah, Hal. 210.
[2] As-Salafiyah al-Wahhabiyah Afkaruha al-Asasiyah wa Jadzuruha al-Asasiyaha, Hal, 48.































































