Latar Belakang Kemunculan
Sekte al-Kaysaniyyah muncul pada masa awal Islam pasca tragedi Karbala yang mengguncang umat Islam. Kelompok ini merupakan pengikut al-Mukhtar bin ‘Ubaid ats-Tsaqafi, seorang tokoh yang awalnya berhaluan Khawarij, namun kemudian beralih menjadi pendukung Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Nama “Kaysaniyyah” sendiri dinisbatkan kepada Kaysan, yang menurut sebagian riwayat adalah nama lain dari al-Mukhtar, dan menurut versi lain adalah budak yang dimerdekakan Sayyidina Ali atau murid dari Muhammad bin al-Hanafiyah, putra Sayyidina Ali dari istri yang bernama Khaulah binti Jakfar.
Peran Al-Mukhtar dalam Revolusi Kufah
Al-Mukhtar tampil ke permukaan ketika Muslim bin Aqil, utusan dari Sayyidina Husain, tiba di Kufah untuk mengukur dukungan rakyat Irak terhadap cucu Nabi tersebut. Namun, situasi berubah drastis ketika ‘Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah, menangkap dan memenjarakan al-Mukhtar. Ia dibebaskan hanya karena bantuan dari Abdullah bin Umar, suami saudara perempuannya yaitu Shafiyyah binti Abi Ubaid, dengan syarat ia harus meninggalkan Kufah. Al-Mukhtar pun pergi ke Hijaz.
Dalam perjalanan, ia bersumpah akan menuntut darah al-Husain, dengan menyatakan:
“Demi Tuhan, aku akan membunuh sejumlah orang sebagai pembalasan atas terbunuhnya al-Husain sebagaimana orang-orang dibunuh karena darah Yahya bin Zakaria.”
Baca Juga; Sekte Saba’iyah: Awal Mula Ekstremisme dalam Sejarah Islam
Ia kemudian bergabung dengan Abdullah bin Zubair, yang saat itu berusaha menguasai wilayah Hijaz. Al-Mukhtar berjanji setia dan ikut berperang melawan pasukan Syam. Namun, setelah wafatnya Yazid bin Muawiyah dan melemahnya kekuatan Umayyah, al-Mukhtar kembali ke Kufah dengan strategi politik dan dakwah baru.
Dakwah atas Nama Muhammad bin al-Hanafiyah
Sekembalinya ke Kufah, al-Mukhtar menyatakan bahwa ia diutus oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, saudara Sayyidina Husain, untuk menuntut darah al-Husain dan membela Ahlul Bait. Ia mengangkat Muhammad bin al-Hanafiyah sebagai “al-Mahdi” dan “al-Washi”, dan mengklaim sebagai wakil dan menteri yang diutus untuk memberantas kezaliman dan menolong yang lemah.
Dengan modal pengaruh Muhammad bin al-Hanafiyah yang dikenal luas akan ilmunya, wibawa, dan kesalehan, al-Mukhtar berhasil menarik simpati rakyat dan memulai gerakan balas dendam terhadap para pembunuh al-Husain.
Ajaran dan Keyakinan Kaysaniyyah
Al-Kaysaniyyah memiliki sejumlah doktrin yang menyimpang yang membedakan mereka dari kelompok lainnya. Di antaranya:
- Keyakinan terhadap Kesucian Imam, namun tanpa menganggapnya sebagai Tuhan. Imam bagi mereka adalah sosok suci, maksum (terhindar dari dosa), simbol ilmu ilahi, dan harus ditaati secara mutlak.
- Kepercayaan pada Raj’ah (kembalinya Imam). Setelah wafatnya Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, dan Sayyidina Husain, mereka menganggap Muhammad bin al-Hanafiyah sebagai Imam. Sebagian percaya ia telah wafat dan akan kembali, sementara mayoritas meyakini bahwa ia masih hidup dan bersembunyi di Gunung Radwa, ditemani air dan madu.
- Keyakinan terhadap Bada’. Mereka percaya bahwa Allah dapat mengubah keputusan-Nya sesuai perubahan ilmu-Nya. Al-Mukhtar sering menggunakan konsep ini untuk membenarkan kegagalannya. Jika ramalannya tepat, ia mengklaim itu sebagai bukti kebenaran dakwahnya; namun jika meleset, ia berkata: “Telah terjadi bada’ dari Tuhan kalian.” Ini digunakan sebagai pembenaran terhadap inkonsistensi tindakan dan janji-janji politiknya.
Baca Juga; Aswaja dan Tantangan AI (1)
Kritik dan Penolakan Ulama
Ulama seperti asy-Syahrastani mengecam keras doktrin bada’ dan menganggap klaim-klaim al-Mukhtar sebagai penyesatan dan kerusakan dalam akidah. Ia menilai bahwa manipulasi konsep bada’ untuk mendukung ambisi pribadi adalah bentuk penyimpangan teologis yang nyata.
Kesimpulan
Sekte al-Kaysaniyyah adalah hasil dari perpaduan antara taktik & dendam politik, kecintaan kepada Ahlul Bait, dan penyimpangan teologis. Meski gerakannya berhasil menyingkirkan sebagian pembunuh Sayyidina Husain, doktrin-doktrinnya yang bercampur antara kultus individu dan oportunisme politik membuatnya dikritik dan ditolak banyak ulama. Perjalanan sekte al-Kaysaniyyah menunjukkan bagaimana situasi politik pasca-Karbala menjadi ladang subur bagi munculnya sekte-sekte baru dalam Islam.
Fauzan Imran | Annajahsidogiri.id