Satu hal yang tak dapat kita pungkiri adalah bahwa setiap nabi atau rasul memiliki misi untuk mengajarkan umat manusia yaitu dua ajaran pokok agama; Akidah dan Syariat. Bahkan hal yang paling inti dari agama adalah aspek akidah dan syariah itu sendiri.
Dalam hal akidah, semua utusan mengemban tugas yang sama, baik Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Isa hingga Nabi Muhammad, yaitu mengajak seluruh umat manusia untuk mengesakan Allah sebagai Zat Pencipta alam semesta, mengimani keberadaan para malaikat, para nabi dan seterusnya. Dalam surah as-Syura ayat 13 Allah SWT berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ
“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.” (Q.S: asy-Syura: 13)
Berbeda dengan akidah, syariat nabi dengan yang lain boleh jadi tidak sama. Kewajiban-kawajiban yang Allah tetapkan untuk hamba-hambanya lewat penyampaian para utusannya mungkin berbeda, tergantung kepada siapa obyek hukum tasyri’ tersebut. Seperti kewajiban Nabi Musa kepada kaumnya terkesan berat nan keras, sedangkan kaum Nabi Isa mendapati aturan yang cenderung lebih ringan. Perbedaan tasyri’ macam ini dapat kita jumpai dalam al-Quran surah Ali Imran ayat 50:
وَمُصَدِّقٌا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنْ التَوْرَاةِ وَلِاُحِلَّ لَكُمْ بَعْضُ الذِيْ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Dan sebagai seorang yang membenarkan taurat yang datang sebelumku, dan agar menghalalkan bagi kamu sebagian yang telah diharamkan untukmu.” (Q.S: Ali Imran: 50)
Semua itu tak lain, karena tujuan utama syariat adalah suatu hukum untuk mengatur segala urusan atau maslahah umat manusia baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Sedangkan kepentingan atau maslahah bagi masing-masing umat jelas berbeda, alias tidak sama. Baik untuk suatu kaum belum tentu baik untuk kaum yang lain. Demikian itu hanya Allah yang mengetahuinya.
Oleh sebab itu, sebuah keniscayaan manakala para utusan membawa syariat maka terjadi tanasukh atau saling me-nasakh satu sama lain.
Syekh Said Ramadhan al-Buthi berkata “Setiap nabi atau rasul membawa syariat pasti itu me-nasakh syariat nabi sebelumnya, terkecuali apa-apa yang mendapat legitimasi dari syariat setelahnya”. Mayoritas ulama Malikiyah memilih pendapat ini, sebagaimana yang Imam Ibrahim al-Laqani kutip dalam kitab Hidayatul Murid li Jauharah Tauhid.
Sementara menurut syafiiyah dengan redaksi yang berbeda, berbunyi, “Syariat nabi terdahulu bukanlah syariat bagi kita, meskipun tak ada ayat atau hadist yang me-nasakh-nya”.
Dalil landasan para ulama dalam masalah ini adalah ayat:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلاِسْلَامِ دِيْنُا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِيْ اْلاَخِرَةِ مِنْ الخَسِرِيْنَ
“Dan barang siapa mencari agama selain islam dia tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (Q.S:Ali-Imran: 85)
Dari pemaparan sebelumnya dapat kita tarik kesimpulan bahwa tugas kita mengamalkan syariat yang telah Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Adapun syariat nabi terdahulu boleh kita amalkan selagi tak ada nas al-Qur’an maupun hadis yang me-nasakh-nya. Wallahu A’lam.
Abd. Jalil | Annajahsidogiri.id