Ketika mendengar kata ‘Syiah’, sudah tidak asing lagi di telinga kita tentang caci maki mereka terhadap istri-istri baginda Nabi Muhammad, khususnya terhadap Siti Aisyah. Beragam kata-kata kotor mereka sematkan kepada Ummul Mukminin; mulai dari pelacur, pendusta Dll. Dalam sebuah riwayat (yang dibuat-buat oleh Syiah) yang termaktub dalam ikhtiyar ma’rifat ar-rijal karya ath-Tusi, disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas pernah berkata kepada Sayidah Aisyah, “ kamu tak lain hanya seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan Rasulullah…”.[1]
Bahkan, tidak cukup dengan cacian, Syiah malah berani melaknat Sayidah Aisyah. Hal ini dapat kita lihat dalam doa yang rutin dibaca kaum Syiah (doa shânamai Quraisyn) yang berbunyi:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَبِنْتَيْهِمَا الَّذَيْنِ خَلَفَا امْرُكْ
“Ya Allah! salawat semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya
Dan laknatlah dua berhala Quraisy (Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar) dan putri keduanya (ayidah Aisyah dan Sayidah Hafsah yang keduanya merupakan istri Baginda Nabi) yang telah menyalahi perintahmu.”
Lebih parah lagi, apa yang dinyatakan oleh al-Majlisi dalam Hayatul-Qulub bahwa meninggalnya Rasulullah sebab diracun oleh Sayidah Aisyah:
اِنَّ عائِشةَ وحَفْصَةَ قَتَلَتَا رَسُولَ اللهِ بِالسَّمِّ دَبَّرَتَاهُ
“Sesungguhnya Aisyah dan Hafshah telah membunuh Rasulullah dengan meminumkan racun yang telah mereka rencanakan”
Tundingan, cemooh dan caci maki kaum Syiah terhadap para istri Nabi, khususnya Sayidah Aisyah, muncul dari sifat kebencian dan marah mereka terhadap ayah handanya, Sayidina Abu Bakar. Demikian ini karena dalam keyakinan mereka, Sayidina Abu Bakar telah merebut hak kepemimpinan Sayidina Ali dalam menjabat sebagai khilafah. Oleh karenanya, sebetulnya tidak memerlukan argumen untuk menolaknya, sebab semua argumen dan fakta sejarah telah membuktikan kebatilan tuduhan-tuduhan tersebut.
Berikut akan kami paparkan sedikit contoh kemuliaan yang dimiliki Sayidah Aisyah radhiyallahu ‘anha sehingga orang lain tidak berhak untuk mencela atau menghinanya!
Sayidah Aisyah di hati Rasulullah
Dalam kitab Shahih Muslim, Diriwayatkan dari Khalid Dari Abu Usman, ia berkata, “Telah memberitahu ku Amru bin ‘Ash bahwa Rasulullah telah mengutusnya pergi ke seorang prajurit yang mempunyai baju besi. Sepulangnya aku bertanya kepada Rasulullah: ‘Siapa orang yang paling kau cintai?’ Jawab Beliau: ‘Aisyah.’ Aku bertanya lagi: ‘Dan di antara laki-laki?’. ‘Ayahnya’, kata Beliau. ‘kemudian siapa lagi?’, tanyaku. Lalu beliau menjawab: ‘Umar’, lalu Beliau menghitung beberapa laki-laki. Al-Bukhari menambahkan: ‘Aku (Amru) Diam, takut Beliau menyebutku yang terakhir di antara mereka’.“
Diriwayatkan pula dari Sayidah Aisyah, Rasulullah berkata, “Apakah engkau bersedia untuk menjadi istriku di dunia dan akhirat?” Jawabku: “Tentu bersedia”. Demi Allah. Maka beliau bersabda: “Engkau adalah istriku di dunia dan di akhirat”. (HR Al-hakim 4/10)
Dalam hadis yang lain, Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “’Aisyah” (HR Bukhori no 3462 dan HR Muslim no 6328,)
Lihatlah bagaimana kedudukan dan keutamaan ‘Aisyah di hati Rasulullah, beliau adalah istri Rasulullah di dunia dan di akhirat serat merupakan wanita yang sangat dicintainya. Bukankah bentuk ketaatan dan kecintaan kepada Rasulullah adalah dengan mencintai apa yang beliau cinta, dan membenci apa yang Rasulullah benci? Ketika Rasulullah sangat mencintai Sayidah Aisyah, maka pantaskah seseorang membenci dan mencelanya? Jawabannya Tentu sangat tidak pantas.
Keutamaan dan Kemuliaan Aisyah
Banyak sekali keutamaan yang dimiliki Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahkan Rasulullah menggambarkan keutamaannya layaknya tsarid (bubur daging dan roti) yang merupakan makanan paling utama dan kebanggaan bangsa arab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang mulia dari kalangan laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti Imran dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita seperti keutamaan tsarid atas segala makanan.” [2]
Di antara keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha lainnya:
1. ‘Aisyah satu-satunya yang dinikahi Rasulullah dalam keadaan masih gadis
Aisyah mengatakan, “Aku telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala aku masih gadis dan beliau tidak pernah menikahi seorang gadis kecuali diriku, beliau meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau dikuburkan di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Qur’an turun sedang aku dan beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat terdekatnya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengan ampunan dan rezeki yang mulia.”[3]
2. Pernikahan Rasulullah dengan ‘Aisyah berdasarkan wahyu Allah
“Engkau ditampakkan padaku dalam mimpi selama tiga malam; seorang malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih, lalu malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’, maka aku menyingkap wajahmu dan ternyata engkau, lalu kukatakan, ‘Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjalankannya’.” [4]
3. Malaikat Jibril Menyampaikan Salam untuk Aisyah
Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, Abu Salamah berkata, “Sesungguhnya malaikat Jibril mengucapkam salam kepadamu”. Aisyah berkata, “Lalu aku menjawab, wa’alaihissalam wa rahmatullah”. [5]
4. Wahyu turun ketika Rasulullah bersama ‘Aisyah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menurunkan wahyu kepadaku ketika aku sedang berada di selimut salah seorang di antara kalian selain Aisyah” [6]
Melihat seabrek keutamaan Sayidah Aisyah di atas, maka sangat aneh jika ada orang yang tidak mentakziminya, terlebih jika berani mencela apalagi melaknat beliau wal ‘iyadhu billah.
Hasani Dahlan | Annajahsidogiri.id
[1] Ath-Tusi, Ikhtiyar Ma’rifat ar-Rijal, hlm. 57-60
[3] Abil Qasim Ismail al-Asbahani. Al-Hujjah fi Bayaan al-Mahajjah, juz 2, hlm. 398