Setelah pada tulisan sebelumnya dijelaskan tentang penanaman akidah, yang secara berurutan harus dimulai dengan menghafal, lalu memahami, kemudian meyakini dan menyejatikan dalam diri; selanjutnya pada bagian kedua dari tulisan ini, penulis hendak menguraikan cara memantapkan akidah yang telah tertanam dalam diri kita. Dalam hal ini, penulis masih merujuk pada rujukan yang sama, yaitu keterangan al-Imam al-Gazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin.
Adapun cara memperkuat akidah menurut al-Imam al-Gazali adalah melalui mujahadah, atau mengerahkan daya upaya dan kesungguhan maksimal dalam usaha memperkuat akidah, agar Allah membukakan di hadapan kita pintu hidayah, makrifat, dan hakikat-hakikat dari akidah yang telah dihafalkan, difahami, dan diyakini itu. Jalur mujahadah dalam memperkuat akidah ini sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-‘Ankabut: 69).
Bentuk konkret dari mujahadah yang dimaksud oleh al-Gazali agar bisa memperkuat akidah dan semakin memantapkannya dalam jiwa adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, memperbanyak membaca al-Quran dan tafsir dengan tadabur; berusaha meresapi makna yang terkandung di dalamnya, di samping memperbanyak membaca hadis-hadis Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berusaha memahami serta meresapi makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Bacaan al-Quran dan hadis yang secara kontinu menyirami relung hati seseorang, akan semakin memantapkan akidahnya. Kekuatan hujah yang terdapat dalam kedua pusaka tersebut akan semakin menancapkan akidah dengan kokoh, sehingga tak tergoyahkan oleh berbagai ombak dan badai yang menerjang.
Kedua, memperbanyak melakukan ibadah-ibadah dan amal-amal kebaikan, seperti shalat sunah dengan berbagai ragamnya, puasa sunah dengan beragam jenisnya, rajin berzikir, bersalawat, dan semacamnya. Cahaya ibadah, zikir, salawat, dan berbagai aktivitas kebaikan akan memenuhi jiwa dan membikin keyakinan dan akidah semakin bertambah kuat.
Ketiga, sering-sering berkumpul dengan orang-orang saleh, mendengar petuah-petuah mereka, dan menyaksikan ahwal atau sikap mereka. Dengan begitu, seseorang akan menyaksikan bagaimana kekhusyukan mereka, bagaimana ketenangan mereka, bagaimana perasaan takut (khauf) mereka kepada Allah, dan bagaimana peraan penuh harap mereka (raja’) mereka kepada Allah, bagaimana tawakal mereka, kezuhudan mereka, dan lain sebagainya.
Keempat, berusaha semaksimal mungkin untuk membersihkan hati dari berbagai kotoran dan penyakit yang biasa bersarang di dalamnya, seperti sikap sombong, iri, dengki, tamak, cinta dunia, dan berbagai penyakit hati yang lain, yang oleh al-Imam al-Gazali dikategorikan sebagai al-muhlikat, atau penyakit-penyakit hati yang merusak dan membinasakan.
Kelima, menjaga diri dari mendengarkan atau terlibat dalam perdebatan seputar akidah dan pemikiran, karena perdebatan (jidal) dalam persoalan akidah justru sangat berpotensi menggoncangkan akidah alih-alih mengokohkan dan menguatkannya. Karena itu, orang awam diharuskan menghindar dari menyimak debat akidah semacam itu, baik secara langsung maupun tidak, seperti perdebatan di sosial media dengan berbagai jenis dan bentuknya.
Moh. Achyat Ahmad | (Direktur Annajah Center Sidogiri)