Istilah Haji Mabrur sudah seringkali kita dengar. Setiap orang yang pergi berhaji pasti mencita-citakan hajinya bisa menjadi mabrur. Haji mabrur bukan hanya sekadar haji yang menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah SWT.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim berkata, “Haji mabrur ialah haji yang tidak dikotori oleh dosa, atau haji yang diterima Allah SWT, yang tidak ada riya, tidak ada sum’ah, tidak rafats (berkata-kata jorok), dan tidak berbuat fasik.”
Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antara haji yang mabrur dengan yang tidak mabrur? Tentunya yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah SWT semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrur atau tidak. Para ulama menyebutkan tanda-tanda mabrurnya haji, berdasarkan keterangan di dalam al-Quran dan al-Hadits, namun itu tidak bisa memberikan kepastian mabrur tidaknya haji seseorang. Di antara tanda-tanda haji mabrur yang telah disebutkan para ulama adalah:
Pertama, mengerjakan amalan haji dengan ikhlas dan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya harus dipenuhi, dan semua larangan harus ditinggalkan. Jika sampai terjadi kesalahan, maka hendaknya segera membayar dam (tebusan yang telah ditentukan).
Kedua, tidak berbuat maksiat selama ihram. Maksiat dilarang dalam agama kita dalam setiap kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan kemungkinian besar tidak akan tercapai. Allah SWT berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ (البقرة:197)
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah:197)
Ketiga, tanda terakhir diterimanya amal seseorang di sisi Allah SWT adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan setelah pulang dari haji. Sebaliknya, jika setelah beramal saleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah SWT tidak menerima amalannya.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah hajinya sebagai sarana untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah SWT. Ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi keburukan-keburukan.
Kesimpulannya, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang adalah Allah SWT semata. Para ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah SWT berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji Anda, maka hendaknya Anda bersyukur atas taufik dari Allah SWT. Anda boleh berharap ibadah Anda diterima oleh Allah SWT, dan teruslah berdoa agar ibadah Anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka Anda harus memperbanyak istighfar dan memperbaiki diri. Wallâhu A’lam.
Syuaib Asyhar/Annajah.co
Comments 0