Indoesia dikenal sebagai negara yang sukses menerapkan kerukunan antar umat beragama, enam pemeluk agama bisa hidup berdampingan dengan damai di bawah naungan satu negara. Meski Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, namun tidak lantas membuat umat muslim berbuat semena-mena terhadap pemeluk agama lain yang posisinya adalah minoritas bahkan tetap saling menghargai perbedaan yang ada, hal ini membuktikan bahwa muslim di Indonesia sangat menjaga nilai-nilai toleransi.
Namun, sering ditemukan sebagian Muslim salah dalam memaknai toleransi. Mereka menganggap toleransi tidak cukup dengan saling menghargai, tapi juga harus ikut berpartisipasi dalam beberapa ritual non-muslim. Maka tak heran jika banyak kita jumpai orang Islam mengucapkan selamat natal, menjaga perayaan agama lain, bahkan sampai ikut berpakaian khas penganut agama lain. Toleransi serampangan semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan, karna ada larangan tegas dari Agama.
Dalam Islam, toleransi hanya sekadar menghargai dan tidak menggangu ritual pemeluk agama lain. Adapun jika sampai berpartisipasi atau ikut menyerupai mereka maka tidak diperbolehkan sebagaimana sabda Nabi;
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم
Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud no. 3512).
Dalam kitab Fatawa Kubro al-Fiqhiyyah dijelaskan jika ada orang kafir meminta petunjuk jalan menuju tempat peribadahannya kepada seorang muslim, maka haram bagi orang muslim tersebut untuk menujukkannya, sebab ada unsur membantu terhadap kemaksiatan bahkan kesyirikan;
سُئِلَ عَنْ كَافِرٍ ضَلَّ عن طَرِيقِ صَنَمِهِ فَسَأَلَ مُسْلِمًا عن الطَّرِيقِ إلَيْهِ فَهَلْ له أَنْ يَدُلَّهُ الطَّرِيقَ إلَيْهِ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ ليس له أَنْ يَدُلَّهُ لِذَلِكَ لِأَنَّا لَا نُقِرُّ عَابِدِي الْأَصْنَامِ على عِبَادَتِهَا فَإِرْشَادُهُ لِلطَّرِيقِ إلَيْهِ إعَانَةٌ له على مَعْصِيَةٍ عَظِيمَةٍ فَحَرُمَ عليه ذلك
“Imam Ibnu Hajar al-Haitamy ditanya mengenai orang kafir yang tersesat menuju tempat berhalanya (peribadahannya), kemudian dia meminta petunjuk kepada orang muslim. Apakah muslim tersebut boleh menunjukkanya?. Maka beliau menjawab ‘muslim tersebut tidak boleh menunjukannya, karna kita tidak diperkenankan mengakui atas ibadah seorang penyembah berhala. Adapun menunjukkan jalan padanya temasuk membantu kemaksiatan yang di haramkan’’(Fatawa Kubro al-Fiqhiyyah .Juz.4 hal.248)
Dalam permasalahan seperti di atas; menunjukkan non-muslim pada tempat peribadahannya, secara zahir hanyalah hal sepele. Namun ulama tetap mengharamkannya karna syariat Islam sangat ketat dalam masalah akidah, apalagi jika sampai menjaga tempat ibadah mereka, memakai pakaian khas mereka lebih-lebih ikut dalam ritual mereka. Keharaman berpartisipasi dalam perayaan orang kafir juga di pertegas dalam fatwa MUI nomor 5 tahun 1981 yang berisi “Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal”.
Dari pemaparan tadi bisa disimpulkan bahwa toleransi yang benar versi Islam cukup dengan tidak mengusik pemeluk agama lain dalam ritual keagamaan mereka serta tidak memaksa mereka untuk mengikuti agama kita sebagaimana yang Allah tegaskan dalam al-Qur’an;
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْم
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (al-Baqarah: 256).
Adapun jika sampai menyerupai ataupun berpartisipasi dalam ritual keagamaan orang kafir maka jelas tidak diperbolehkan.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id