Orang-orang Liberal tidak henti-hentinya menyebarkan segala pandangan nyelenehnya dalam Islam. Mereka akan mengerahkan segala kemampuan yang mereka miliki demi tersebarnya paham miring yang mereka usung. Salah satu cara yang biasa mereka pakai adalah hermeneutika al-Quran; penafsiran ayat al-Quran secara kontekstual, histori, subjektif, serta kondisi sosial psikologis sang penulis ketika menulis[1]. Sahiron Syamsuddin yang merupakan pengusung hermeneutika al-Quran, menawarkan pendekatan memahami al-Qur’an era kontemporer, yang ia sebut sebagai pendekatan ma’na cum maghza (suatu pendekatan di mana seorang mufassir berupaya menyelisik makna dan pesan utama saat al-Qur’an diturunkan)[2]. Salah satu contoh hermeneutika al-Quran adalah pernyataan seorang tokoh liberal yang menafsiri milkul-Yamin dalam al-Quran sebagai keabsahan seks pranikah(hubungan sukarela antara seorang pria dewasa dan seorang wanita dewasa sebelum menjalin hubungan yang sah). Dia berstatement bahwa ketika sepasang kekasih saling rida dalam melakukan hubungan badan meski belum menjalin hubungan pernikahan yang sah itu boleh, karena termasuk dalam kategori milkul-Yamin sebagaimana yang tertera dalam al-Quran.
Lantas, bagaimana kita menanggapi pernyataan seperti ini?
Penafsiran abal-abal liberalis ini jelas sesat dan sangat berbahaya, karena bila penafsiran tersebut sampai ke telinga orang awam, dikhawatirkan mereka langsung mempercayai penafsiran yang sok ilmiyah tersebut. Sehingga bisa berakibat banyak terjadi perzinaan yang berkedok ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan kesalahan-kesalahan Penafsiran di atas sebagai berikut:
Kerancuan Metode Tafsir Hermeneutika
Metode hermeneutika jika diterapkan dalam menafsiri al-Quran seperti contoh di atas, Tentunya akan sangat membahayakan. Sebab, akan memberi kebebasan kepada siapa saja untuk menafsiri al-Quran sesuai keinginan mereka. Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri melarang keras hal tersebut. Sebagaimana dalam Hadits riwayat Ibnu Abbas berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَنْ قَالَ فِي الْقُرْأَنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka”.
Maksud hadis ini bukanlah menolak penafsiran dengan akal secara mutlak. Menurut Abu Bakar Muhammad al-Anbari, ada dua kemungkinan maksud hadis ini. Pertama, barang siapa yang berpendapat pada permasalahan al-Qur’an dengan pendapat yang tidak dikenal di kalangan ulama generasi awal dari para sahabat dan tabiin maka ia sedang mengarah kepada murka Allah.
Kedua, barang siapa yang berpendapat pada ayat al-Qur’an dan ia tahu bahwa pendapat yang benar adalah selain pendapatnya, berarti ia telah mengambil tempatnya di neraka. Kemungkinan makna kedua ini adalah yang paling tepat. Maka dari itu, penafsiran seseorang yang menafsiri al-Quran menggunakan pandangan yang berbeda dengan mayoritas ulama, termasuk dari kategori tafsir bir ra’yi.
Faktor lain yang membuat metode hermeneutika Al-Quran tidak relevan adalah karena tidak mengikuti prosedural. Prosedural yang dimaksud adalah seperti yang diterapkan dalam Ulumul Quran. Misalnya, menafsiri ayat dengan ayat, ayat dengan Hadits, ayat dengan penafsiran Sahabat atau Tabiin. dan lain sebagainya. Sedangkan, hermeneutika Al-Quran sama sekali tidak mengikuti prosedur tersebut.
Konsep Milkul-Yamin Menurut Ulama
Ulama sepakat bahwa tafsiran dari milkul-yamin dalam ayat Al-Quran adalah budak. ayat tersebut seperti:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim. (Q.S an-Nisa’ [4]:3)
Ibnu Katsir dalam kitabnya Tafsîr Ibnu Katsîr menjelaskan maksud dari firman Allah “mā malakat aymānukum” dalam ayat barusan, adalah seorang budak yang diperoleh dari rampasan perang. Bahkan disebutkan dalam kitab Adwâul Bayân Fî īdâhil Quran bil-Quran, bahwa semua lafaz yang tertera dalam al-Qur’an memiliki arti kepemilikan dengan perbudakan.
Seks Pranikah Termasuk Zina
Dalam kitab Minhajut-Thalibîn, Imam Muhyidin an-Nawawi memberi definisi zina sebagaimana berikut:
إيلاج الذكر بفرج محرم لعينه
(zina adalah) Memasukkan zakar terhadap vagina yang diharamkan
maksud dari lafaz “muharram li ainihi” adalah seorang wanita yang belum halal alias belum menjadi istri yang sah. sehingga, jika pria dan wanita berhubungan layaknya suami istri sebelum adanya hubungan yang sah, maka hal tersebut termasuk zina, meskipun saling rida antara keduanya.
Selain itu, telah menjadi konsensus ulama, bahwa zina termasuk dosa besar, hal ini karena ada nash zharîh dalam Al-Quran:
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ
Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali”.) Q.S An-Nur [24]:2).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa masing-masing pria dan wanita yang berzina harus didera sebanyak seratus kali. Sedangkan, dosa zina merupakan dosa besar karena merupakan perbuatan dosa yang mendapatkan ancaman langsung dari Allah.
Menghalalkan Perkara Haram
Telah kami sebutkan di atas, bahwa bersetubuh antara pria dan wanita tanpa pernikahan yang sah, termasuk perkara haram karena terdapat nash langsung dari Al-Quran. Maka dari itu, seseorang yang memperbolehkan hal tersebut, dapat di kategorikan sebagai mustahillul haram (menghalalkan yang haram). Padahal, Allah sendiri mewanti-wanti hal tersebut dalam al-Quran:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Q.S An-Nahl [16]: 116).
Selain itu, Imam Ibrahim Al-Laqqani dalam nazamnya jauharatut-tauhid menjelaskan bahwa seseorang yang menghalalkan perkara haram, boleh dibunuh sebab kekafirannya. Berikut penjelasan beliau:
وَمَنْ لِمَعْلُوْمٍ ضَرُوْرَةٌ جَحَدْ ֍ عَنْ دِيْنِنَا يُقْتَلُ كُفْرًا لَيْسَ حَدْ
وَمِثْلُ هَذَا مَنْ نَفَى لِمُجْمَعِ ֍ أَوِاسْتَبَاحَ كَالزِّنَا فَلْتَسْمَعِ
Orang yang mengingkari suatu yang telah diketahui secara pasti dari agama kita, maka dia boleh dibunuh karena kekafirannya, dan (bagi si pembunuh) tidak berhak di had. begitu juga (boleh dibunuh) orang yang mengingkari ijma` ulama atau yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan. maka renungkanlah (hal tersebut).
Dari nazam barusan, dalam kitab Hidâyatul-Murīd Syarh Jauharatut-Tauhīd¸ terdapat keterangan bahwa terdapat perselisihan ulama tentang orang yang menghalalkan perkara haram. Imam Maturidi berpendapat bahwa sesorang yang menghalalkan perkara haram termasuk kafir jika perkara haram tersebut karena dalil qathi. Namun, menurut Imam Asyari orang yang menghalalkan perkara haram termasuk kafir jika perkara haram tersebut diketahui secara pasti (maklum minaddin bid darurah).
Beberapa poin yang telah kami paparkan barusan sudah cukup sebagai bukti bahwa pernyataan tokoh liberal di atas, yakni memperbolehkan adanya seks pra nikah, adalah sesat dan terkesan memaksa-maksakan dalil. Pernyataan tersebut tidak lain hanya demi kepentingan nafsu birahi saja. Wallāhu a‘lamu bis-shawāb
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Faiz, Fahruddin. 2005. Haermeneutika Al-Quran Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: Elsaq Press)
[2] https://tafsiralquran.id