Sebagaimana kita ketahui, bahwa banyak dari kalangan sufi yang enggan menikah agar fokus ibadah. Di antaranya adalah sufi dari kalangan wanita; Rabiah Adawiyah. Konon beliau tidak menikah karena cintanya tidak untuk siapapun, kecuali untuk Sang Mahacinta.
Banyak dari mereka yang meniti jalan sufi memilih untuk tidak menikah, karena menurut mereka, gangguan utama dalam beribadah kepada Allah adalah sibuk dalam urusan keluarga.
Namun banyak pula kita dapati Sabda Rasulullah yang menganjurkan kaula muda untuk segera menikah. Bahkan beliau menekankan, bahwa nikah adalah sunah beliau. Jika enggan kepada sunah beliau, itu berarti buka termasuk dari golongan beliau. “Nikah adalah sunahku, barangsiapa yang benci akan sunahku, maka dia bukan termasuk golonganku.” Begitulah sabda beliau sebagaimana masyhur dalam kitab-kitab hadis.
Lalu bagaimana sebenarnya yang lebih baik kepada kita? Apakah memilih menikah atau fokus ibadah?
Dalah masalah yang kita bahas ini, Hujjatul Islam Imam al-Gazali dalam kitab Ihya Ulumudin memberi jawaban yang cukup memukau. Menurut beliau, antara nikah dan ibadah bisa berjalan beriringan. Sebab nikah bukanlah penghalang bagi seseorang untuk fokus ibadah, jika ditinjau bahwa nikah adalah akad. Sebagimana akad yang lain, yang tidak berpengaruh pada ibadah seseorang. Oleh sebabnya, nikah tetaplah lebih utama jika sekiranya ibadah kita tidak terganggu dengan kesibukan mencari nafkah. Dengan artian bahwa kita sudah mempunyai penghasilan yang cukup dan halal. Akan tetapi, jika sekiranya ibadah kita terganggu oleh tuntutan mencari nafkah, dan ibadah kita juga didasari ilmu dan ketenangan jiwa, maka tidak menikah merupakan pilihan yang tepat.
Dalam masalah ini, sebenarnya kita sendiri yang lebih tahu pada keadaan masing-masing. Sebab tidak jarang kita temukan, jika seseorang telah menikah, ia akan sibuk bekerja sehingga ia lupa pada kewajibannya sebagai seorang muslim. Tapi tidak sedikit pula orang yang telah menikah, justru ia akan lebih konsen dalam melakukan ibadah. Seban kebutuhan biologisnya yang terkadang menggangu pikiran, sudah dapat tersalurkan pada perkara halal, sehingga ia akan lebih husyu’ dalam penghambaannya kepada Sang Mahakuasa. Wallahu a’lam.
Referensi: Ihya Ulumuddin, jus 2 hal 40.
Baqir Madani|AnnajahSidogiri.id