Salah satu aliran teologi Islam yang mengagungkan akal di atas segala hal adalah Muktazilah. Dalil-dalil nash al-Quran dan hadis adalah penopang dari kapasitas akal yang sudah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia, demikian kesimpulan umum dari doktrin ajaran Muktazilah. Penganut aliran Muktazilah meyakini bahwa akal bisa mengantarkan pada keimanan dan ketaatan pada Allah SWT. Muktazilah sendiri adalah sebuah sekte yang mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid Hasan al-Bashri yang memilih untuk menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yang ia dirikan dijuluki dengan sekte Muktazilah yang diambilkan dari lafaz i‘tazal (menyendiri atau menyimpang) karena telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam. Pada mulanya, Muktazilah yang diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dengan penetapan empat kaidah saja, yaitu:
Pertama
Menafikan semua sifat Allah yang termaktub dalam al-Quran dan Hadis seperti sifat Ilmu, Qudrah, Irâdah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap sifat Ilmu Allah tidak mungkin Qadîm (tidak berawal). Sebab, kata mereka, jika Ilmu Allah itu Qadîm, niscaya akan ada dua hal yang sama-sama Qadîm yaitu Allah dan Ilmu-Nya.
Al-Qadhi Abdul Jabbar, salah satu ulama Muktazilah, menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu, niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya, sebagaimana manusia dapat diukur dengan tingkat keilmuannya. Seandainya Allah memiliki ilmu, maka ilmu tersebut akan sirna, karena tidak ada yang abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu, niscaya Allah akan membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu, sebagaimana manusia yang membutuhkan otak dan hati sebagai tempat untuk menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu yang ia ciptakan untuk bisa mengetahui, niscaya Allah adalah Dzat yang membutuhkan kepada ciptaan-Nya. Ini semua tidak mungkin secara akal.”[1]
Walhasil, menurut Muktazilah, Allah itu Maha Mengetahui bukan dengan sifat ilmu-Nya, melainkan dengan dzat-Nya yang abadi.
Pendapat ini bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Ahlusunah. Menurut Ahlusunah ilmu Allah itu bersifat Qadîm, karena seandainya ilmu Allah tidak bersifat Qadîm, niscaya akan menimbulkan pemahaman bahwa sebelum Allah itu mengetahui suatu perkara, Allah itu tidak mengetahuinya, sebagaimana pengetahuan manusia. Hal ini tentu mustahil bagi Allah, karena pendapat Muktazilah ini menetapkan sifat kekurangan kepada Allah ﷻ.
Kedua
Mereka menetapkan bahwa kehendak (irâdah)Allah hanya seputar perkara yang baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tidak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya, karena hal tersebut bertentangan dengan sifat yang dimiliki-Nya yang berupa Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Selain itu, menurut mereka, Allah juga wajib mengutus para nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yang mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan, seluruh keburukan yang dilakukan oleh manusia atau musibah yang menimpanya itu disebabkan ulah mereka, tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.
Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yang baik karena Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan menghukum orang-orang yang bermaksiat di Hari Kiamat, sedangkan Dia sendiri yang menghendaki perbuatan maksiat tersebut ada selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul agar menyeru manusia meninggalkan maksiat, sedangkan maksiat tersebut diwujudkan-Nya?”.[2]
Pendapat ini disanggah oleh Ahlusunah wal Jamaah bahwa seluruh takdir yang baik dan buruk adalah dari Allah serta perbuatan makhluk tidak lepas dari kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yang tidak dikehendaki Allah, namun kemaksiatan itu terjadi, niscaya Allah memiliki sifat lemah karena tidak mampu menggagalkan maksiat yang tidak Dia kehendaki wujudnya.
Ketiga
Menurut mereka, orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah itu tidak termasuk dari orang mukmin serta bukan kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tidak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yang baik dan menjauhi maksiat yang pantas disebut sebagai orang beriman. Di sisi lain, mereka tidak mengkafirkan orang yang fasik karena kemaksiatan mereka. Sebab, orang fasik tersebut telah membaca syahadat. Akan tetapi, kelak di akhirat mereka tetap disiksa jika tidak mau bertobat. Namun, siksaan mereka lebih ringan daripada siksaan yang didapatkan oleh orang kafir. Nah, karena orang fasik itu tidak beriman dan tidak kafir, Muktazilah memposisikan mereka dalam sebuah posisi yang disebut sebagai al-manzilah bayna manzilatain (satu tempat di antara dua tempat)
Keempat
Mereka menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yang bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yang akan kekal di neraka selama mereka tidak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dua kebenaran yang wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada kelompok yang salah dan yang benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yang bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah sebagai orang yang tidak pantas memimpin umat Islam. Oleh karena itu, mereka tidak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam.[3]
Tentu hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ahlusunah wal-Jamaah yang meyakini para sahabat sebagai orang-orang yang mulia. Karena dari pengajaran para sahabat, guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan sahabat Muawiyah sebagai orang fasik berakibat fatal. Padahal, Baginda Nabi Muhammad telah bersabda:
»لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي ، لَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي«. (رواه الطبراني)
“Jangan kalian mencaci para sahabatku. Semoga Allah melaknat orang yang mencaci para sahabatku.”[4]
Seiring berjalannya waktu, nama Muktazilah telah hilang digerus oleh zaman. Semakin akhir semakin banyak pula aliran-aliran lain bermunculan dengan berbagai nama yang berbeda-beda. Namun, tidak bisa dipungkiri, pemikiran Muktazilah atau faham-faham yang meyimpang dari Ahlusunah akan selalu beredar di sekitar kita. Oleh karena itu, kita harus selalu meminta perlindungan kepada Allah agar kita selalu ditetapkan di jalan yang benar dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Saw. Wallâhu a‘lam.
M. Aghits Amta Maula | Annajahsidogiri.id
[1] Al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fî Ushûlid-Dîn, hlm. 212.
[2] Al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fî Ushûlid-Dîn, hlm. 233.
[3] Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, al-Milal wan-Nihal, juz 1 hlm. 49
[4] HR. ath-Thabrani, al-Mu‘jamul-Ausath [4771].