Sudah maklum bagi kita, bahwa hadis merupakan sumber kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hadis yang merupakan sabda Rasulullah ﷺ tersebut memiliki kedudukan tinggi dalam ajaran Islam dalam menentukan sebuah hukum. Keduanya merupakan satu-kesatuan yang harus menjadi pedoman hidup bagi umat Islam.
Namun terdapat segelintir orang yang meragukan otoritas hadis dalam Islam. Salah satu argumen yang mereka lontarkan adalah mengapa masih membutuhkan hadis untuk menentukan suatu hukum. Bukankah Al-Qur’an yang merupakan kalâmullah sudah cukup untuk dijadikan satu-satunya sumber dalam Islam. Apalagi, hadis merupakan perkataan manusia, bukan dari Allah ﷻ.
Untuk menjawab keraguan tadi, ada beberapa poin yang perlu kita ketahui:
Otoritas Hadis Sebagai Sumber Islam
Sebagai umat Muslim, tentu kita tidak boleh meragukan kedudukan hadis sebagai sumber Islam. Salah satu alasannya adalah karena hal tersebut telah Allah ﷻ singgung dalam Al-Qur’an:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوۡكَ فِيۡمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُوۡا فِىۡۤ اَنۡفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُوۡا تَسۡلِيۡمًا (النساء [٠٤]: ٦٥)
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisâ’ [04]: 65).
Ayat tersebut turun ketika terdapat perselisihan antara dua orang Muslimin, salah satu dari keduanya adalah Zubair bin Awam; sepupu Nabi. Keduanya mendatangi Nabi untuk menghukumi siapa yang benar antara mereka berdua. Yang pada akhirnya Nabi memutuskan bahwa Zubairlah yang benar. Mendengar hal tersebut, musuh dari Zubair tidak terima seraya berkata, “(Kau memenangkan Zubair) apakah karena dia merupakan sepupumu Wahai Rasulullah?” Kemudian turunlah ayat tersebut.[1]
Dari penyebab turunnya ayat tadi, bisa kita lihat bahwa hukum yang Rasulullah putuskan pada ayat tersebut merupakan keputusan beliau sendiri, bukan untuk menjelaskan suatu ayat dalam Al-Qur’an. Oleh karenanya, maka seseorang yang tidak menerima keputusan Rasulullah tidak bisa disebut mukmin, karena telah mengingkari sesuatu yang telah Allah akui. Hal tersebut sesuai penjelasan al-Buthi dalam kitabnya Yughâlitûnaka Idz Yaqûlûna.
Selain itu, Rasulullah pernah mewanti-wanti kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-Quran dan hadis agar kita selamat dan tidak akan tersesat. Hal tersebut sebagaimana hadis:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.” (HR. Malik).
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id
[1] Dr. Muhammad Said Ramdhan al-Buthi, Yughâlithûnaka Idz Yaqûlûna, hlm. 159, terbitan as-Siddiq lil-‘Ulum, Damaskus.