Para sahabat #SerialAkidahAwam sekalian, pada pembahasan kali ini kita akan membahas tentang ilmu Allah ﷻ sebagai lanjutan dari pembahasan sebelumnya, yang tertera dalam nazam:
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ * حَـيَـاةٌ الْعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ
“Kemudian sifat kodrat, iradat, samak, basar, hayat, ilmu dan kalam yang terus berlangsung.”
Syekh Muhammad Fudâli mendefinisikan sifat ilmu yang wajib bagi Allah ﷻ dalam kitabnya, Kifâyatul-Awâm fî mâ Yajibu ‘Alaihim minal-Kalâm hlm. 50 dengan:
وَهُوَ صِفَةٌ قَدِيمَةُ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالى مَوْجُودَةٌ يَنْكَشِفُ بِهَا المَعْلُوْمُ اِنْكَشَافًا عَلَى وَجْهِ الاِحَاطَةِ مِنْ غَيْرِ سَبْقِ خَفَاءٍ
“Sifat ilmu (yang wajib bagi Allah ﷻ) adalah sifat yang qadim (tidak berawal) yang menetap pada Dzat Allah serta menyingkap seluruh perkara maklum (suatu yang diketahui) secara menyeluruh tanpa diawali kesamaran.”
Definisi di atas menegaskan bahwa Allah ﷻ mengetahui segalanya secara detail dan tanpa ada kesamaran bagi Allahﷻ, sehingga mustahil jika terdapat suatu hal yang tidak sesuai dengan ilmu Allah, karena hal tersebut mengindikasikan Allah tidak mengetahuinya, padahal realitanya Allah pasti mengetahui segalanya tanpa terkecuali.
ilmu Allah ﷻ ber-ta‘alluq (berkaitan) dengan segala hal; perkara wajib, jaiz dan mustahil secara akal. Maka, Allah mengetahui semua hal tanpa terkecuali, baik hal tersebut bersifat kongkret ataupun abstrak. Sebab, Allah mengetahui segalanya tanpa terkecuali dan tidak ada yang samar bagi Allah. Dan sebagaimana telah sahabat #SerialAkidahAwam sekalian ketahui, bahwa mustahil, terdapat suatu hal yang tidak diketahui oleh Allah, karena Allah wajib bersifat dengan segala sifat kesempurnaan dan wajib bersih dari segala sifat kekurangan.
Dalil-dalil Sifat Ilmu Allah
Allah ﷻ berfirman:
اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ࣖ
“Allah adalah yang menciptakan tujuh langit dan (menciptakan pula) bumi seperti itu. Perintah Allah berlaku pada langit dan bumi, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. ath-Thalâq [65]:12).
Dalam al-Qur’an surat al-Mujâdalah disebutkan:
اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. al-Mujâdalah [58]:7).
Dalam surah Qâf ayat 16 Allah berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qāf [50]:16).
Ayat-ayat yang telah dipaparkan di atas dengan jelas menegaskan sifat ilmu yang wajib bagi Allah ﷻ. Ilmu Allah ﷻ meliputi segalanya dan tidak ada yang samar bagi Allah. Kewajiban sifat ilmu Allah ﷻ ini terbukti dengan terciptanya alam semesta ini secara sempurna. Kita sudah memahami dari pembahasan sifat-sifat sebelumnya bahwa Allah menciptakan dengan kehendak-Nya, sehingga mustahil penciptaan Allah terhadap alam secara sempurna dengan kehendak-Nya itu tanpa ilmu.[1]
Ilmu Allah Berbeda dengan Ilmunya Makhluk
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya, maka dalam sifat ilmu, Allah juga berbeda dengan makhluk-Nya. Pengetahuan makhluk adalah baru, sebab ada usaha yang melatar belakangi pengetahuan tersebut, sehingga segala hal yang makhluk ketahui pasti berawal dari ketidaktahuan. Beda halnya dengan pengetahuan Allah ﷻ, ilmu Allah ﷻ itu qadîm (tidak memiliki permulaan) dan bukan hasil dari usaha dan upaya. Sebab, jika ilmu Allah itu memiliki permulaan ataupun merupakan buah dari usaha maka berarti ilmu Allah didahului kebodohan, dan itu adalah hal yang mustahil. Semuanya jelas bagi Allah, baik suatu yang telah berlalu, sedang terjadi atau akan ada di masa depan, itu semua sama dan jelas bagi Allah. Wallâhu a‘lam.
Muh Shobir Khoiri | Annajahsidogiri.id
[1] Syaikh Muhammad Ali Ba’atiyyah, Mûjazul-Kalâm fî Syarhi ‘Aqîdatil-Awâm, hlm. 79.