Banyak masyarakat Indonesia yang masih memercayai keberadaan hari sial. Mereka meyakini bahwa pekerjaan apa pun yang akan dikerjakan pada hari itu, akan menjadi sebuah kesialan bagi dirinya. Lantas, bagaimanakah akidah Ahlusunah wal Jamaah menyikapi hal demikian? Berikut penjelasannya.
Meyakini suatu hari sebagai kesialan memang sudah menjangkiti umat manusia di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini karena kurangnya pengetahuan akidah Islam yang matang di tengah-tengah masyarakat. Sehingga banyak dari kalangan masyarakat awam yang telah terjebak dalam keyakinan hari nahas seperti ini.
Sejatinya, dalam akidah Islam, meyakini hari nahas merupakan suatu yang terlarang. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari berikut:
لا عَدْوَى وَلا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ
“Tidak ada penyakit yang menular dan tidak boleh menyakini pertanda buruk, sedangkan meyakini pertanda baik sangatlah aku senangi.” (HR. Al-Bukhari)
Baca Juga; Memahami Tradisi Rebowekasan dengan Benar
Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai komentator hadis di atas memberikan penjelasan bahwa lafal الْفَأْلُ menunjukkan arti tanda-tanda kebaikan, dalam artian semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia di setiap harinya harus dipercayai sebagai kebaikan untuk dirinya sendiri, karena Allah ﷻ senantiasa mewujudkan sesuatu yang ada dalam dugaan kuat hamba-Nya. Sehingga hamba dianjurkan untuk tidak meyakini hal buruk yang akan dialminya dalam melakukan suatu perkara di hari-hari tertentu (Itthiaful-Muhirrah, Ibnu Hajar al-Asqalani, juz. 2 hlm. 260)
Tidak hanya itu, meyakini salah satu hari sebagai kesialan bagi diri seseorang, justru akan membikin dirinya terjerembab dalam kesialan tersebut. Hal ini sebagaimana nukilan al-Imam al-Munawi terhadap penjelasan dari al-Imam as-Suhaili dalam kitab Kasyful-Khafâ’, bahwa kebiasaan meyakini pertanda buruk itu merupakan tingkah yang tidak mengikuti sunah Nabi, di mana perilaku demikian menjadi tanda dari seseorang yang enggan bertawakal kepada Allah ﷻ.
Dari penjelasan tersebut, al-Munawi kemudian menyimpulkan bahwa meyakini suatu hari (semisal hari Rabu) sebagai bentuk kesialan, itu merupakan sesuatu yang diharamkan, karena semua hari adalah milik Allah ﷻ, yang tidak dapat menimbulkan bahaya dan manfaat sama sekali. Adapun jika meyakini kebaikan dalam setiap hari yang dijalani, maka diperbolehkan (Kasyful- Khafâ’ juz. 1 hlm. 19-20)
Dengan demikian, keterangan di muka menunjukkan bahwa seseorang tidak diperkenankan untuk meyakini kesialan di hari-hari tertentu. Meyakini terjadinya hari sial justru akan mendorong diri semakin dekat dengan kesialan itu sendiri. Oleh karenanya, hal ini harus dijauhi, meski telah menjamur subur di tengah-tengah masyarakat kita. Wallâhu A’lam bish-Shawwâb.
M. Roviul Bada | Annajahsidogiri.id