Tak sedikit dari #SahabatAnnajah yang bertanya tentang takdir dan pertanyaan-pertanyaan berkaitan yang membingungkan. Kali ini, kita akan coba membahas terlebih dahulu pertanyaan #SahabatAnnajah berikut:
Pertanyaan:
Assalamualaikum admin Annajah. Izin untuk bertanya soal qada dan qadar.
Kronologi:
Telah kita ketahui bersama bahwa ketika manusia disiksa karena melakukan maksiat, ini dikatakan bentuk dari keadilan Allah. Padahal perbuatan tersebut juga dikehendaki oleh Allah walaupun tidak diridainya.
Jika dijawab: “Kan Allah sudah membekalinya dengan akal untuk berfikir dan mengambil sikap agar selamat?” Lagi-lagi dikatakan bahwa akal juga diciptakan oleh Allah dan dikendalikan oleh Allah.
Pertanyaannya, bagaimana pemahaman yang benar tentang sifat adil Allah? Terima kasih. Wassalamualaikum.
Sail: 088232******
Jawaban:
Pertama, kita harus paham terlebih dahulu perihal takdir Allah. Allah berfirman dalam surah ash-Shaffat (37) ayat 96:
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 96)
Ayat ini menjelaskan bahwa dalam takdir Allah, terdapat pembahasan hakikat dan syariat. “وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ” menunjukkan hakikat. Yakni, segala hal yang ada di dunia ini, yang baik; salat, puasa, zakat bersedekah dll, ataupun yang buruk; mencuri, menggasab, dan membunuh, pada hakikatnya adalah takdir Allah. Semua itu Allah yang menakdirkan.
Bahkan hal-hal biasa yang tak terbilang kebaikan ataupun keburukan semisal makan, minum, berdiri dan duduk, semua itu Allah yang menakdirkan. Maka dari itu, Allah juga berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ
“Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’.” (QS. An-Nisa’ [04]: 78)
Adapun penggalan ayat selanjutnya, “وَمَا تَعْمَلُوْنَ” menunjukkan makna syariat. Yakni, semua pekerjaan yang dilakukan hamba, baik ataupun jelek, itu adalah pekerjaan dia dan berhak mendapat balasan atas apa yang ia kerjakan.
Seorang pekerja berhak mendapat upah atas pekerjaan yang ia lakukan. Seorang pegawai berhak mendapat gaji atas tugas yang ia kerjakan. Begitu seterusnya.
Begitupula seorang hamba, ia memberhaki sesuatu sesuai dengan apa dan bagaimana ia melalukan. Hamba yang taat berhak mendapatkan balasan yang berupa surga atas ketaatan yang ia lakukan. Sebaliknya, seorang hamba yang suka berbuat maksiat berhak mendapat balasan neraka sebab kemaksiatan yang ia lakukan.
Kedua, ketika kita sudah paham bahwa siksaan Allah pada pelaku maksiat meninjau terhadap pekerjaan pelaku, maka sudah jelas letak keadilan Allah. Ia menyiksa pelaku maksiat karena maksiat yang ia lakukan.
Bukankah adil itu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan zalim adalah meletakkan sesuatu di bukan tempatnya?
Seorang guru disebut adil bila ia profesional dalam menilai murid. Memberi nilai merah bagi murid yang tak mampu dan suka bermalas-malasan dan memberi nilai bagus pada murid yang mampu dan rajin. Itulah yang disebut adil. Malah menjadi zalim bila guru memberi nilai bagus pada murid yang nakal dan bermalas-malasan.
Maka benar apa yang dikatakan Syekh al-Laqqani dalam Nazam Jauharatut-Tauhîd-nya:
فَاِن يُثِبْنَا فَبِمَحْضِ اْلفَضْلِ * وَاِن يُعَذِّبْ فَبِمَحْضِ اْلعَدْلِ
“Bila Kami (Allah) memberi pahala maka itu murni anugrah * Dan bila Kami (Allah) memberi azab maka itu murini sifat keadilan.”
Ghazali | Annajahsidogiri.id