Suatu hal yang sering terjadi diantara kita adalah saat seorang muslim di kalangan kita melakukan perbuatan dosa baik itu kecil maupun besar, secara terang-terangan atupun tidak, ia akan berharap bahwa dosanya akan diampuni oleh Allah ﷻ. Kemudian, titik masalahnya adalah ia tidak mengimbanginya dengan taubat nashuha sebagaimana yang telah diperintahkan dalam syariat. Maka dalam hal ini, dikhawatirkan para muslim tersebut akan terjerumus pada suatu paham aliran yang dikenal dengan Murji’ah.
Adalah suatu hal yang benar bila aliran ini disebut dengan Murji’ah. Sebab, murji’ah sendiri yang diambil dari masdar irja’ memiliki arti pemberi harapan. Dalam artian, aliran ini memang secara fakta memberikan harapan bagi pelaku dosa ataupun orang fasik yang bermaksiat untuk bisa tetap masuk ke surga layaknya orang yang beriman dan berbuat kebaikan.
Baca juga: Bangsa Perusak: Ya’juj & Ma’juj
Disamping itu, kata irja’ dalam bahasa arab juga memiliki arti menunda atu menangguhkan pekerjaan. Di mana dalam keyakinannya, mereka menganggap bahwa iman hanya terbatas pada hati dan tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.
Oleh karena itu, mereka memasrahkan semua urusan hanya pada Allah ﷺ semata, sehingga hanya Allah ﷻ yang tau terhadap esensi pekerjaan hambanya, apapun pekerjaannya.
Yang pada akhirnya, mereka mengatakan bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa, toh meskipun perbuatan tersebut mengandung kekafiran, selagi ia memiliki keimanan di dalam hatinya, maka orang tersebut tetap dikatakan mukmin, bukan kafir.
Bisa kita lihat betapa bobrok dan rancunya pemahaman aliran ini. Maka tidak heran, dalam suatu hadis, Nabi Muhammad ﷺ pernah mengatakan bahwa aliran ini telah dilaknat oleh tujuh puluh nabi sebelumnya. Untuk lebih lengkapnya berikut redaksi yang tertera dalam kitab al-Farqu baina al-Firoq [hlm.151];
وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: “لُعِنَتِ الْمُرْجِئَةُ عَلَى لِسَانِ سَبْعِينَ نَبِيًّا.” قِيلَ: مَنِ الْمُرْجِئَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: “الَّذِينَ يَقُولُونَ: الْإِيمَانُ كَلَامٌ”، يَعْنِي: الَّذِينَ زَعَمُوا أَنَّ الْإِيمَانَ هُوَ إِقْرَارٌ وَحْدَهُ دُونَ غَيْرِهِ.
“Dan diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda: ‘Murji’ah dilaknat di atas lisan tujuh puluh nabi.’ Lalu ditanyakan: ‘Siapakah Murji’ah itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Orang-orang yang mengatakan bahwa iman itu hanya perkataan,’ yaitu mereka yang mengklaim bahwa iman hanyalah pengakuan semata tanpa ada perbuatan.”
Maka bagaimana yang benar menurut pandangan Ahlusunnah wal Jamaah dalam masalah taubat dan iman? Berikut penjelasannya:
Baca juga: Jahmiyyah; Sekte Pengingkar Asma Allah
Paham aswaja seputar taubat
Dalam pemahaman Aswaja, seseorang yang telah jelas-jelas melakukan perbuatan yang melanggar syariat, dalam tanda kutip dosa. Maka, jika seseorang tersebut ingin dosanya diampuni oleh Allahﷻ, maka yang diwajibkan baginya adalah bertaubat dengan taubat nashuha. Adapun konsep taubat yang telah ditetapkan oleh Ulama adalah sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Riyadhus-Shalihin [hlm.12], berikut:
- Jika perbuatan seseorang tersebut tidak berkaitan dengan hak adami(hak manusia), maka yang diwajibkan baginya adalah tiga perkara, yaitu; melepas perbuatan dosa tersebut seketika itu, menyesali atas perbuatannya, berniat untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama.
- Bilamana perbuatan dosanya berkaitan dengan hak adami seperti ghibah, menuduh zina, dan lain-lain. Maka yang diwajibkan baginya adalah tiga perkara tersebut serta meminta maaf pada objek yang menjadi sasarannya.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad ﷺ pernah mengilustrasikan bahwa senangnya Allah ﷻ kepada hambanya yang bertaubat melebihi daripada seseorang yang kehilangan tunggangannya di tanah tandus. (HR. Bukhari&Muslim)
Disamping itu, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah Nabi Muhammad ﷺ pernah menyampaikan bahwa beliau bertaubat dalam sehari semalam sebanyak 70 kali.
Bukan berarti hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad ﷺ mempunyai dosa. Melainkan, dalam hadis ini Nabi Muhammad ingin mengajarkan pada umatnya bahwa taubat yang sedemikian rupa juga semestinya dilakukan oleh umatnya.
Maka jika hamba tersebut sudah bertaubat sesuai apa yang diperintahkan di dalam syariat, barulah dengan kemungkinan besar, dosanya akan dihapus sebagaimana yang telah dijanjikan Allah ﷻ dalam QS. al-Furqan : 70, QS. al-Maidah : 39.
Paham aswaja seputar Iman
Kemudian, dalam masalah iman, Aswaja memandang bahwa iman adalah sebuah pembenaran di dalam hati. Sedangkan amal adalah sebagai penyempurna daripada iman. Dalam artian, seseorang yang sudah beriman pada apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ meliputi hari akhir dan lain sebagainya, tetap tidak dikatakan sempurna imannya selagi tidak membuktikan apa yang diyaikininya dengan perbuatan.
jadi, jika dikatakan bahwa amal bukan bagian daripada iman, bukan berarti misalnya seseorang yang beriman pada Allah ﷻ kemudian ia menyembah matahari atau melakukan hal-hal yang syirik tidak dikatakan kafir.
Maka disinilah kita juga perlu memahami bahwa terdapat beberapa pekerjaan yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama (murtad), sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Habib Abdullah bin Husain dalam karangan populernya Sullamut-Taufiq.
Baca juga: Sekte Ibadiyah; Pecahan Khawarij yang Menyamar
Hingga pada akhirnya, Ulama memberikan kesimpulan bahwa agama adalah pengucapan dan perbuatan (ad-Diin Qaulun wa Amalun). Yang dimaksud kata ad-Diin disini adalah iman sebagaimana pemaparan Dr. Safar bin Abd Rahman al-Hawali dalam karyanya yang bertajuk Dhohirotul-Irja [hlm.222]. Wallahu A’lam bis-Shawab.
Moch Rizky Febriansyah|annajahsidogiri.id