I. Landasan Karamah: Dalil Al-Qur’an, Hadis, Hingga argumen Logis
Karena ketidaktahuan, ternyata tidak sedikit masyarakat kita yang masih menanyakan dalil dan bukti realitas karamah. Penanya yang awam, yang murni tidak tahu dan murni ingin mencari tahu, akan puas jika kita berikan dalil terjadinya karamah yang banyak tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis. Namun, jika pertanyaan ini datang dari kalangan yang meragukan karamah dan segala hal yang terkait dengan prinsip metafisika Agama (Ghaibiyyât), —seperti kaum atheis dan liberal yang mengukur segala hal dengan akal dan panca indra yang sangat terbatas, maka disamping menampilkan dalil-dalil dan bukti dalam Al-Qur’an dan hadis, kita perlu menjawabnya melalui pendekatan logis dan rasional sebagai dalil dan bukti konkret yang dapat diterima oleh akal sehat. Demikian ini supaya kita tidak dituduh memiliki klaim sepihak dalam menjustifikasi prinsip-prinsip dan ajaran kita, khususnya dalam konteks karamah ini.
A. Karamah dalam Al-Qu’ran
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang karamah sangat banyak, diantaranya:
1. Ali ‘Imran 3:37, yang menceritakan sayyidah Maryam binti Imran yang diberi keajaiban (karamah) oleh Allah berupa makanan dari surga.
2. Al-Kahfi 18:9–26, yang menceritakan Ashabul Kahfi (Pemuda Gua) yang mengalami peristiwa luar biasa berupa tidur panjang selama 309 tahun.
3. An-Naml 27:40, tentang Asif bin Barkhaya (orang saleh dan ahli ilmu di istana Nabi Sulaiman AS.) yang memindahkan singgasana ratu Bilqis secara ajaib dalam sekejap mata.
Baca Juga; Wali dan Karamah [2/3]
B. Karamah dalam Hadis dan Atsar Shahabat
Tak hanya dalam Al-Qur’an, landasan dan dalil karamah juga tertera dalam hadis dan atsar sahabat. Berikut diantaranya:
1. Sahabat Bilal Bin rabah, yang suara bakiak-nya didengar Rasulullah ﷺ disurga. (Al-Bukhari, Sahihul-Bukhari, hadis ke-3386: 1312)
2. Sahabat ‘Abbad bin Bisyr dan Usaid bin Hudair, yang ujung tongkatnya memancarkan cahaya terang saat keduanya pulang dari kediaman Rasulullah di tengah malam yang gelap gulita. (Abu Bakar al-Baihaqi, Dalâilun-Nubuwwah: 78)
3. Sahabat Umar bin khattab, yang di tengah-tengah khutbah jum’atnya memberi peringatan kepada pasukan muslimin yang tengah berperang di negeri persia, padahal beliau berada di madinah. (Abdur-Rahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Jâmi’ul al-Ahâdis, vol. XXVII/62.)
Dan masih banyak lagi bunyi kisah-kisah ajaib lain denagn riwayat dan sanad yang sahih bahkan mutawatir.
C. Pendekatan Logis dan Rasional tentang Karamah
Secara logika, jika kita mencintai seseorang, maka kita akan memperlakukan orang tersebut dengan istimewa. Kita akan memberikan kedudukan, akses, dan fasilitas-fasilitas istimewa yang tidak semua orang dapatkan dari kita. Nah, jika logika sederhana seperti ini dapat diterima oleh akal sehat, lantas mengapa kita harus menyangsikan esensi karamah yang merupakan anugerah allah kepada kekasihnya?
Tapi, Jika pertanyaannya adalah bagaimana kita menyikapi peristiwa-peristiwa ajaib tersebut yang menyalahi hukum kebiasaan. Maka jawabannya dapat disimpulkan dengan dua poin berikut:
1. Hukum Kausalitas bukan Kepastian Mutlak
Masyarakat kita terbiasa dengan hukum sebab-akibat: kalau ada api, ada panas. Kalau jatuh, pasti sakit. Tapi kita semua tahu bahwa tidak semua peristiwa di dunia ini dapat dijelaskan dengan kausal standar. Misalnya, ada orang selamat dari kecelakaan besar tanpa luka sama sekali. Ada pasien yang divonis dokter tidak akan hidup lama tapi dapat bertahan hidup hingga bertahun-tahun. Semua peristiwa ini tidak selalu dapat dijelaskan oleh sains secara tuntas. Maka mengapa tidak mungkin, jika Allah yang maha kuasa membuat pengecualian terhadap hukum-hukum alam biasa untuk hamba-Nya yang istimewa?
Baca Juga; Wali dan Karamah [1/3]
2. “Tidak Biasa” bukan Berarti “Tidak Mungkin”
Secara logika, “mustahil” berarti tidak mungkin terjadi, sedangkan “tidak biasa” berarti jarang terjadi. Karamah bukanlah tidak mungkin, hanya saja tidak biasa (jarang terjadi) secara pengalaman manusia. Dulu, orang menganggap benda logam tidak bisa terbang sampai ditemukan pesawat. Suara dianggap tidak dapat menembus jarak yang jauh sampai ditemukan radio dan telepon. Maka kesimpulannya, karamah adalah mungkin. Bukan mustahil. Apalagi jika kita membuka ruang logika pada kekuasaan allah yang tak tebatas.
II. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep wali dan karamah yang merupakan ajaran Aswaja bukanlah doktrin mentah dan dogma belaka. Melainkan adalah prinsip yang memiliki landasan dan argumen yang jelas dari al-Qur’an dan hadis hingga logika dan akal sehat. Kiranya setelah memahami penjelasan ini kita tidak mudah goyah menghadapi orang-orang latah yang mempersoalkan ajaran dan keyakinan kita. Khususnya dalam konteks karamah yang diangggap khurafat oleh sebagian masyarakat dewasa ini. Wallahua’lam.
Muhammad Asrori | Annajahsidogiri.id































































