Bagi kaum Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya bagi aktivis kajian akidah, ath-Tahawi bukanlah sosok yang asing lagi bagi mereka. Sebab beliau adalah sosok ulama yang mempunyai jasa besar dalam keilmuan Islam, terutama dalam bidang akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini dapat dibuktikan dengan kitab karangan beliau yang terkenal, yaitu kitab “Al-Aqîdah ath-Thahâwiyah“ yang bahkan banyak disyarahi oleh ulama-ulama setelahnya. Di antara kitab syarahnya yang terkenal adalah “as-Syarhul al-Kabîr ala al-Aqîdah ath-Thahâwiyyah” ditulis oleh pakar ilmu kalam kontemporer, yaitu Dr. Sa’id Abdul Latif Faudah.
Secara silsilah lengkap, nama beliau ialah Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah bin Abd al-Malik al-Azdī, al-Hijrī, al-Misrī, al-Ṭaḥāwī, al-Ḥanafī. Beliau lahir di masa keemasan para ulama besar, termasuk para penyusun enam kitab hadis utama (Kutub al-Sittah), serta para imam fiqih dan hadis yang berada di puncak keilmuan pada zamannya, yaitu sekitar tahun 230 Hijriyah di desa Ṭaḥā yang terletak di wilayah Hulu Mesir, yang berarti nama ath-Thahawi adalah sebagai nisbat pada tempat lahirnya.
Baca Juga; Matan as-Sanusiyyah; Kitab Tipis, Sarat Makna
Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan agama. Ayahnya dikenal sebagai sosok yang alim dan ibunya sering menghadiri majelisnya Imam Syafi’i. Pamannya adalah Imam al-Muzani salah satu murid Imam Syafi’i yang paling cemerlang. Dengan latar belakang tersebut, Imam ath–Thahawi tumbuh menjadi sosok yang sangat alim terutama dalam ilmu hadits dan fiqih. Al-Imam Ibnu Abdil Bar berkomentar tentang Imam ath–Thahawi dalam kitab “Al-Jawāhir al-Muḍīyah” (jilid 1 halaman 110) “ath-Thahawi adalah sosok ulama yang alim ilmu fiqih lintas madzhab”
Di balik sosok yang luar biasa tersebut, pasti ada seorang guru yang sangat berpengaruh di baliknya. Dalam mukaddimah kitab “As-Syarhul al-Kabir ala al-Aqidah ath-Thahawiyyah” disebutkan, awalnya Imam ath–Thahawi berguru kepada pamannya yaitu Imam al-Muzani dan mengikuti madzhab syafi’i. Namun suatu hari Imam al-Muzani berkata pada beliau “Demi Allah, tidak akan keluar apa pun darimu.” (maksudnya al-Muzani seakan-akan meragukan kemampuannya dalam menuntut ilmu).
Perkataan tersebut membuat Imam ath–Thahawi marah lantas iapun berpindah belajar kepada Imam Ibn Abi ‘Imrān yang bermadzhab Hanafi sehingga beliau memilih untuk mendalami madzhab Hanafi dan menjadi muridnya yang unggul. Ia pun berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Ibrahim (al-Muzani), seandainya ia masih hidup pasti ia akan menarik kembali ucapannya”. Imam ath-Thahawi juga berguru pada pembesar ulama madzhab Maliki, di antaranya ialah Imam Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, serta Imam ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi.
Baca Juga; Hujjatu Ahlusunnah Wal Jamaah; Dalil Penguat Amaliah Aswaja
Dengan keluasan ilmu Imam ath-Thahawi beliau dijadikan rujukan oleh banyak tokoh besar di zamannya, bahkan banyak yang menjadi muridnya dan juga menjadi ulama berpengaruh yang memiliki karya-karya monumental yang dijadikan rujukan sampai sekarang. Di antara muridnya tersebut ialah Imam Abū al-Qāsim al-Ṭabrānī, penyusun kitab al-Mu‘jam dan Al-Ḥāfiẓ Abū Bakr bin al-Muqri’[1]
Imam ath-Thahawi wafat pada bulan Dzul-Qa’dah, 321 H. di kota Mesir, tempat beliau mengajar dan menulis karya-karyanya. Beliau dimakamkan di kota al-Qarāfah, tepatnya di pemakaman keluarga Bani al-Asy‘ath[2].
Fadli Dakhlan | Annajahsidogiri.id
[1] Mukaddimah Kitab “As-Syarhul al-kabîr ala al-Aqîdah ath-Thahâwiyyah”
[2] Ibid.































































