Sudah menjadi budaya negara ini jika ada tokoh agama Islam yang wafat, banyak dari simpatisan menyampaikan bela sungkawa atas kepergiannya. Mengenang jasa hidupunya agar senantiasa menjadi suri teladan bagi generasi setelahnya. Biasanya, dengan cara membuat kado bunga plus nama tokoh Islam yang wafat, kemudian diletakkan sepanjang pinggir jalan menuju rumah tokoh tersebut. Para pengirim kado bunga tersebut kebanyakan dari kalangan pejabat, pengusaha, dan orang terpandang lainnya. Inilah tradisi yang kian menjamur di negeri kita ini. Namun, yang menjadi janggal, ketika melihat berita di sebuah situs ormas Islam, bahwa foto salah satu tokoh Islam sesudah wafatnya dipajang di dalam gereja bahkan dikeliligi salib dan beberapa lilin layaknya patung yang menjadi sembahan orang non-Muslim. Pertanyaannya, pantaskah foto kiai kita, ulama kita, fotonya di pajang di tempat yang dibenci Allah I? Patutkah non-muslim memajang foto teladan umat Islam di tengah-tengah patung, salib dan lilin?
Mari kita kaji melalui dua sudut yang berbeda. Pertama. Haram, jika non-Muslim memajang foto ulama Islam di gereja bertujuan toleransi umat beragama. Hal ini tidak benar dan sangat keterlaluan. Karena jika tradisi ini terus dilakukan (memajang ulama Islam di gereja) maka tidak lama kemudian para non-Muslim akan menuntun umat Islam agar memajang pendeta mereka yang sudah mati di dalam masjid, kemudian dibacakan tahlil. Dan hal ini sangat lucu jika terjadi dan haram dilakukan. Karena agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam dan selainnya tidak diterima.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Terjemah Arti: Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah I hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah I maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Kedua. Boleh, jika tidak keterlaluan. Diceritakan bahwa Rasullullah SAW berdiri ketika ada jenazah orang Yahudi meninggal sebagaimana keterangan hadis berikut ini:
“(Suatu saat) kami (para sahabat Nabi) dilalui oleh sebuah keranda jenazah. Nabi pun berdiri (saat keranda itu melewati kami), dan kami pun ikut berdiri seperti yang Nabi lakukan. “Rasul, itu kan jenazahnya orang Yahudi, mengapa kita harus berdiri?” tanya para sahabat Nabi pada Rasulullah. “Kematian itu sangat menakutkan. Karena itu, apabila kalian melihat jenazah (apapun agamanya) yang sedang lewat, berdirilah sejenak (agar kalian ingat mati),” jawab Rasulullah pada para sahabat”. (HR Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan Abu Daud).
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyampaikan beberapa riwayat terkait alasan berdirinya Nabi saat melihat keranda jenazah muslim maupun non-Muslim yang melewati kita dan kita tidak ikut mengantarnya ke pemakamannya. Pertama, riwayat Anas bin Malik menyebutkan bahwa alasan Nabi berdiri itu karena para malaikat juga berdiri saat ada jenazah yang hendak dikebumikan. Kedua, riwayat Abdullah bin Amr menyebutkan bahwa alasan Nabi berdiri karena mengagungkan Allah Swt. yang telah mencabut nyawa manusia. Ketiga, riwayat Sahl bin Hunaif dan Qais bin Sa’d menyebutkan bahwa alasan Nabi berdiri saat jenazah Yahudi hendak dikebumikan itu karena Yahudi itu pun manusia ciptaan Allah yang sama-sama harus dihormati dan dimuliakan di tempat peristirahatnnya terakhir.
Baca Juga: Meneguhkan Eksisistensi Iman Dalam Toleransi
Tiga alasan ini sudah dapat ambil kesimpulan bahwa kita boleh berdiri saat melihat orang non-Muslim yang mati, karena seyogianya mereka juga ciptaan Allah I. Namun, yang perlu diperhatikan, agama Islam adalah tolak ukur orang itu akan bahagia ketika di akhirat nanti. Seorang yang beriman kepada Allah saja yang akan menikmati surga yang kekal abadi. Bukanlah orang yang menyekutukan Allah I, karena orang yang mati dalam keadaan musyrik tidak lain tempatnya adalah neraka selama-lamanya. Nauzubillah min dzalik.
Sebagaimana dalam hadits dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ باللهِ شَيئًا دَخَلَ النَّارَ
“Barangsiapa yang mati, tanpa berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, ia masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan membawa dosa syirik, maka ia masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).
Nah, kesimpulam dari tulisan ini. Kita diperkanankan bertoleransi antar umat agama, selagi tidak menimbulkan pelanggaran terhadap undang-undang syariat Islam, misalnya memajang foto ulama Islam di gereja serta dikelilingi salib dan lilin. Prinsip toleransi yang benar bagi kita adalah surah al-Kafirun ayat 1 sampai 6:
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ ١ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ ٢ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٣ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ ٤ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ ٥ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ ٦
- Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
- Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
- Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
- Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
- dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
- Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
Penulis: Bagus Zuhdi| Aktivis ACS Semester IV