Seburuk apa pun itu, jangan terlalu jengkel. Sadarilah, bahwa setiap perkara yang kita lihat ini, merupakan ciptaan. Baik itu benda, atau pun peristiwa. Termasuk perihal tahun baru.
Jika kita mengingat hal tersebut, berarti kita maklum, bahwa di balik ciptaan, ada pencipta yang mahakuasa. Kita harus yakin, segala kreasi Allah terselip hikmah, yang kadang melampaui nalar (Lihat: Syarh as-Sanûsiyah lil-Baijûry).
Setiap hal, Allah-lah indikatornya. Sangat jauh dari kebenaran jika Allah menciptakan keburukan, tanpa ada kebaikan sedikit pun. Sungguh bertentangan dengan etika, saat kita menisbatkan keburukan kepada Allah.
Semua yang ada, dan yang sedang kita rasakan ini, merupakan yang terbaik untuk kita. Kejelekan menetas dari manusia sendiri, sedangkan semua hal yang muncul dari Allah pasti berupa kebaikan (Lihat: QS an-Nisâ’[04]: 178).
Baca Juga: Ketuhanan Yang Maha Esa
Adakah saya ini Muktazilah? Tidak! Muktazilah mematenkan semua kejelekan mustahil tercipta dari Allah, meski di sana memiliki hikmah tersendiri. Padahal semua keburukan yang menggurita di planet biru ini masih relatif, sesuai dari mana kita memandang. Masih belum pernah—dan mustahil—ada keburukan yang bersifat universal. Perkara negatif yang ada, masih bersifat parsial (Lihat: al-Ma’man min adh-Dhalâlah).
Apakah saya Qadariyah? Tidak! Saya tidak mengatakan makhluk memiliki kemampuan tersendiri untuk melakukan sebuah pekerjaan (Lihat: Sarh Ummul-Barâhîn lis-Sanûsi), melainkan semua hal dari Allah (Lihat: QS an-Nisâ’[04]: 78), tetapi semua itu berupa hal positif, tidak ada yang murni negatif.
Dari sini timbul pemahaman dari biji keenam rukun iman, yang berisi: segala baik-buruk berasal dari Allah (Lihat: Hadîts al-Arba’în lin-Nawâwy ke-2). Keburukan di sini berupa derita dari sebagian saja, tidak menafikan kandungan kebaikan yang terselip di dalamnya.
Sebagai contoh, presiden zalim yang berkuasa lama di seuatu negara. Menurut manusia, hal itu merupakan sesuatu yang berdampak negatif. Namun, ada banyak rahasia yang perlu kita renungkan. Dengan penguasa yang zalim, masih memungkinkan untuk meretas kezaliman yang lain, sebagaimana pepatah, “enam puluh tahun di bawah penguasa zalim, lebih baik dari pada satu malam tanpa ada penguasa”. Dari perkataan itu, bisa kita cerna, masih ada kebaikan di sana. Maka, sah-sah saja jika suatu negara dikuasai oleh orang yang zalim.
Rakyat yang tertindas pun, masih bisa merasakan danpak positifnya. Mereka bisa bersatu kembali kepada Allah, dan memohon ampun kepada-Nya. Bisa jadi, hal itu menjadi pelebur dosa bagi orang tersebut.
Berbeda dengan pendusta yang mengaku bahwa dirinya nabi. Allah tidak akan membiarkan mereka hidup lama. Mengingat, kerusakan yang mereka perbuat bersifat merata. Baik dunia, maupun akhirat (Lihat: al-Ma’man min adh-Dhalâlah).
Alhasil, sebuah kehancuran yang terjadi, tidak semata-mata bernilai negatif. Pasti ada kebaikan setelah terjadi kehancuran. Mengingat, Tuhan menginginkan yang terbaik untuk kita, bukan yang baik menurut kita.
Kaitan dengan Tahun Baru.
Meski banyak tersimpan kegaduhan den kemerosotan moral, janganlah kita isykâl akan sesuatu yang jaiz terjadi. Ingkar atas suatu maksiat, itu wajib. Namun, jangan disangsikan kejadiannya. Allah Mahatahu apa yang Dia kehendaki. Kita pasrah, bukan malah menanyakan hal tersebut. Kita tinggal meyakini, bahwa di balik tahun baru ada hikmah tersendiri. Mustahil Allah bercanda dengan menakdirkan tahun baru, yang hanya berujung sia-sia (‘abats).
Penulis: Muhammad ibnu Romli|Aktivis ACS Semester II