Seringkali percekcokan timbul dari perselisihan mengenai Islam yang mudah. Seseorang dicemooh lantaran dirinya garis “keras” dalam beragama, padahal Islam sendiri merupakan agama yang mudah.
يُرِيْدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah[2]: 185)
Kelompok lain malah menghina seseorang yang terlalu longgar dalam beragama. “Dia bikin syariat sendiri,” celetuk salah satu golongan. “Rupanya mereka bingung mengartikan kemudahan Islam,” sanggahku seorang diri.
Jika membaca al-Quran dari awal, sampai an-Nisa’ ayat 28, kita akan berhenti pada ayat yang berbunyi:
يُرِيْدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخَلَقَ الْإِنْسَانَ ضَعِيْفًا
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisa’[4]: 28)
Dari ayat itu, al-Imam al-Mahally menjelaskan bahwa syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW sangatlah mudah. Kita sendiri yang loyo melawan hawa nafsu.
Coba ingat, dulu, pada masa nabi terdahulu, tobat hanya bisa dilakukan dengan bunuh diri, atau minimal mengungsi dari kampung halaman. Dalam Islam, dengan beristigfar yang disertai penyesalan lalu meninggalkan kemaksiatan, sudah cukup dikatakan tobat. Sangatlah ringan jika dibandingkan dengan syariat terdahulu. Saat syariat sudah mudah, malah kita yang enggan melakukannya.
Baca Juga: Islam Liberal, Gerakan Anti Penegakan Syariat
Semua ketentuan agama itu sangat cocok dengan kehidupan manusia. Kata Syaikh Wahbah az-Zuhaily dalam Tafsîr Munîr-nya, lantaran manusia itu terlalu kerdil untuk memerangi nafsu, Allah meringankan ketetapan agama sesuai kemampuannya.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang, malainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah[2]: 286)
Allah Maha Tahu akan kemampuan kita. Kewajiban yang dibebankan sudah selaras dengan kekuatan yang ada. Jika tidak, Allah pun memberikan keringanan melalui sabda Nabi Muhammad SAW:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Apa saja yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah sesuai kemampuanmu” (Hr. Bukhari Muslim)
Keadaan semacam inilah yang kadang dipermasalahkan banyak kalangan. Perlu dipahami, bahwa keadaan ini adalah situasi darurat, yang mana boleh mengerjakan ala kadarnya. Al-Imam as-Suyuthi mengelompokkan masalah ini dalam kaidah:
مَا جَازَ بِالضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
“Sesuatu apapun yang dilegalkan karena darurat, maka berlaku sekadar darurat itu saja.”
Kebanyakan, seseorang lantaran tidak mempu melaksanakan sebuah kewajiban, malah melalaikan kewajiban yang lain. “Ini keadaan darurat,” dalihnya. Jika ditentang, malah dia menimpal, “Islam itu mudah, kenapa diperberat?”
Pikirlah lebih matang. Islam sangatlah mudah jika disandingkan dengan syariat terdahulu. Dia sendiri yang beranggapan sulit, bukan yang menentang. Malah dia sebenarnya, yang mempermudah Islam yang sudah mudah.
Ingatlah, Islam dikatakan mudah lantaran aturannya. Sangat salah jika mengatakan mudah sambil asyik mengotak-atik ajarannya. Orang semacam ini yang rentan menimbulkan pertentangan. Jika terjadi, tak perlulah memperpanjang dalih, sebagaimana dalam al-Quran:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرَدُّوْهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan rasul (hadis), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’[4]: 59)
Mengembalikan semuanya kepada ketetapan semula itu lebih baik dari pada terus menerus bercekcok serta berpendapat dengan akal pikirannya. Itulah yang tersirat dalam Tafsir Jalalain.
Penulis: Muhammad ibnu Romli | Aktivis ACS semester II