Lahirnya Sekularisme Barat
Pada Abad 21, sejak peradaban Barat mulai bangkit dengan meninggalkan Tuhan dan menyegelnya pada pojok gereja, mereka mulai membuka tabir baru pada pentas dunia. Beranjak dari zaman modern yang mencari kebenaran menuju zaman post-modern yang mempertanyakan kebenaran.
Faktor utamanya adalah traumatis mendalam atas hegemoni gereja pada zaman pertengahan (the medieval eges) atau yang lebih terkenal dengan zaman kegelepan (the dark ages). Mereka mengklaim dirinya sebagai institusi resmi wakil Tuhan yang menggunakan otoritasnya dalam mengurusui kehidupan masyaraka Barat dengan cara brutal dan penuh kesewenang-wenagan yang sangat tidak manusiawi.[1]
Baca Juga: Makrifat Sifat Allah, Muara Segala Kebaikan
Tahun 1887, Lord Acton dengan tegas mengungkapkan hegemoni kekuasan gereja dalam ungkapannya antara lain; “Semua kekuasaan cenderung korup; dan kekuasaan yang mutlak, melakukan korupsi secara mutlak.”[2] Bukan hanya itu, problem Teks Bible, kerancuan teologis kristen juga tidak dapat dipisahkah dalam kaitannya menciptakan Barat menjadi negara Sekuler-Liberal.
Implikasiya, Barat modern menganggap Tuhan telah mati seperti suara Nietzsche yang gencar meneriakakn slogannya “God is Dead” yang masih terdengar dari bagian Barat hingga saat ini. Atau Tuhan dalam persepektif mereka adalah kebebesan berfikir secara saintis dan rasionalis.[3]
Jadi sangatlah wajar jika kemudian Barat memisahkan dirinya dan membuang jauh-jauh dogma agama dari jiwanya. Coba kita bandingkan sejarah perpolitikan Islam pada masa Nabi saw dari fase dakwah pemantapan akidah umat sampai membangun peradaban Islam Madinah.
Islam dan Politik
Bangsa Arab dengan segala kultur dan tradisi, merupakan sejarah bisu Bangsa Arab kuno yang bersifat kesukuan dan penuh ambisi untuk mengalahkan suku yang lain, tanpa mengenal tali persaudaran kecuali dalam suku yang sama. Pada saat itu tidak dikenal otoritas tunggal yang mengurusi hak-hak masyarakat dalam satu kepemerintahan atau politik yang disepakati bersama. Namun, pasca Islam muncul dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, semua persatuan dan hak-hak yang mesti diterima pemilikinya mulai terlaksana.
Hal ini dimulai oleh Rasulullah SAW ketika hijrahnya ke Madinah dalam mendirikan negara Islam pertama kali. Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi menyebutkan sepak terjang dan strategi Nabi dalam membangun negara Islam di Madinah melalui tiga hal pokok berikut;
Pertama, membangun masjid sebagai tempat umat Islam berkumpul dalam melaksanakan segala macam peribadatan, setelah mereka dipisahkan dengan berbagai kepentingan pribadi. Andaikan masjid tidak berdiri tegak di Madinah, tentu mereka akan beribadah di rumah mereka masing-masing tanpa bisa melakukan peribadatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Baca Juga: Jangan Taklid dalam Urusan Akidah
Kedua, mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar, supaya antara mereka terbangun ukhwah islamiyah yang kokoh melebihi persaudaraan kerabat yang bisa terus berlanjut sampai kepada anak turunnya. Tidak mungkin suatu negara bisa bangkit dengan sempurna jika tidak menanamkan kecintaan antara satu sama lain dalam tali persaudaraan.
Ketiga, menuliskan Piagam Madinah kepada kaum Muhajirin dan Anshar dan para orang Yahudi. Tiga pokok inilah yang menjadi pilar terpenting bagi Nabi dalam menciptakan negara Islam di Madinah.[4] Sebabnya, seperti negara-negara pada umumnya, konstitusi merupakan hal terpenting dalam menjaga hak-hak individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Setelah kita pahami urgensitas tiga asas tersebut, menjadi bukti keberhasilan Nabi SAW dalam membangun negara Islam (Daulah Islâmiyah), masihkah akan dipertanyakan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, seperti halnya tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang mengatakan, “Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Nabi, bukan seorang Imam atau pun hakim”. Ungkapan semacam ini tak lain hanya untuk melegalkan paham sekularisme agar diterima oleh umat Islam secara umum.
Baca Juga: Apa itu Toleransi?
Dalam perspektif fikih ulama Suni, peryataan seperti ini terlihat konyol, di mana akan menerjang banyak konsensus ulama. Dalam hal ini Imam al-Qarrafi (w. 684 H.) membagi sikap dan pernyataan Rasulullah SAW ke dalam empat kategori;
Pertama, fatwa, yaitu kabar tentang hukum agama yang beliau sampaikan dari Allah SWT berdasarkan dalil-dalil yang beliau temukan. Kedua tabligh, yaitu tuntutan kerasulan yang berarti perintah Allah SWT kepada Nabi SAW untuk menyampaikan pesan. Nabi, dalam hal ini hanya sebagai pembawa berita. Ketiga: hukum atau sebuah putusan, yaitu menciptakan sebuah keputusan yang harus diikuti (dengan perangkat kekuasaan). Ini berbeda dari fatwa dan tabligh, yang keduanya adalah murni penyampaian (dari Nabi) dan murni mengikutinya (dari para pengikut Nabi). Keempat, imamah, yakni kebijakan dan pernyataan yang berkenaan dengan kemaslahatan umum, seperti membunuh para pemberontak, membuka lahan baru untuk pemukiman, dan lain sebagainya.[5]
Dari pemaparan di atas, sangat kentara bahwa agama menjadi satu padu dengan kepemerintahan yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Kenyataan ini tidak hanya menjadi realita yang tertulis dalam buku-buku sejarah, namun juga sesuatu yang diterima menjadi konsep ajaran (Fikih).
Baca Juga: Mengkritik Pemikiran Parmenides Tentang Alam
Perhatikan bagaimana Ibnu Khaldun mengawinkan khilafah dengan agama dalam ungkapannya berikut; “Khilafah sejatinya adalah mengganti pembawa syara’ (ṣâḥib asy-syar’) dalam menjaga agama dan mengatur dunia”[6]. Dapat kita simpulkan bahwa politik merupakan penyokong kebangkitan Islam dan kejayaan peradabannya.
Dari pemaparan di atas, sangatlah konyol jika para akademisi Muslim ikut-ikutan menyuarakan paham sekularisme hanya demi terwujudnya kemajuan fisik suatu perdaban tanpa akhlak dan rohani, sebagaimana Barat meraihnya dengan cara memisahkan dirinya dari agama dan Tuhan. Islam merupakan agama yang sempurna sejak dilahirkannya hingga kini, tanpa adanya sejarah kelam yang mengharuskannya melepaskan agama dari tubuhnya.
Oleh: Moh Sanusi Baisuni | Peneliti Annajah Center Sidogiri
[1] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal. 30, Gema Press.
[2] Peter de Rosa, Vicars of Christ: The Dark Side of the Papacy, hal 11, London Batam Press. Dinukil oleh Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, hal. 30-31, Gema Press.
[3] Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentan Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, Insists, hal. 04
[4] Muhammad Said Ramadan al-Buthi, Fiqhus-Sirah, hal. 160. Darul-Fikr.
[5] Al-Qarrafi, al-Ihkâm fî Tamyîzil-Fatâwâ ‘Anil-Ahkâm wa Tasarrufil-Qâdî wal-Imam, hal.23-26. Cet. I, Matba’ah al-Anwar.
[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldûn, hal. 97 (Maktabah Syamilah).