Urgensi Harta dalam Pandangan Tasawuf
“Andai dalam Islam tidak ada celah yang dapat aku tutupi dengan kekayaanku, maka aku tidak akan mengumpulkan kekayaan itu.” Kalimat yang diucapkan oleh Sayyidina Utsman bin Affan ini memiliki makna tersendiri bagi pola pikir tasawuf dalam menyikapi harta benda.
Sufi berduit menjadi salah satu corak dari sekian banyak tipikal para sufi. Sejarawan tasawuf semacam ats-Tsusi mengategorikan Sayyidina Utsman bin Affan sebagai sufi yang sudah mencapai makam ash-Shiddîqîn karena prinsip yang beliau pegang dalam menyikapi kekayaannya yang melimpah.
Empat khalifah, semuanya adalah figur sufi. Dan, masing-masing membawa tipikal kesufian yang berbeda. Sayyidina Utsman bin Affan memiliki ciri khas yang paling unik dibanding dengan tiga khalifah lainnya. Beliau adalah sufi yang sepintas tidak sufi, tapi ternyata sangat sufi: khusyuk membaca al-Quran dan bergeming menghadapi ancaman maut, menjadi jutawan tapi menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah.
Dalam pola tasawuf Sayidina Utsman –sebagaimana tergambar dalam ucapan beliau di atas– kekayaan begitu penting bagi kelangsungan hidup agama ini. Secara histori, ucapan beliau dibuktikan dalam Perang Tabuk, ketika orang-orang membutuhkan dana untuk berperang melawan Romawi, “Ternyata dinar menjadi kekuatan, di samping semangat juang mereka.”
Baca Juga: Ketegangan Baju di Dunia Sufi
Salah satu tokoh sufi yang memiliki pandangan sama dengan Sayyidina Utsman bin Affan adalah Sufyan ats-Tsauri. Dalam pandangan Sufyan, kekayaan adalah senjata orang-orang mukmin (Shilâhul-Mu’min). Melarat justru menjadi bencana. Sufyan pernah berkata: “Aku ingin kaum santri memiliki kekayaan yang cukup. Sebab, bencana dan omongan orang akan cepat menyambar mereka jika melarat dan berada dalam status sosial yang rendah.” Jadi, menurut beliau, “harta” justru menjadi semacam syiar agar para pencari ilmu dihargai orang, bukan malah diomongi orang.
Pandangan “harta sebagai senjata” ini senada dengan semangat Sayyidina Utsman bin Affan yang menjadi kaya bukan karena kepentingan pribadinya, tapi untuk pengabdian terhadap agama dan kepetingan umum umat Islam. “Kekayaan adalah penutup celah dalam Islam,” tegas beliau.
Sufyan betul-betul meyakini bahwa kekayaan merupakan hal yang sangat penting. Para sufi yang menyukai cara hidup melarat, salah satu motivasinya adalah menghindari tumpukan hisab di akhirat. Sebab, setiap butir kekayaan akan dihisab oleh Allah SWT. Tapi, dalam pandangan Sufyan, saat ini faktor materi menjadi begitu urgen. Bagi beliau, lebih baik dihisab daripada terjebak dalam lingkaran al-Mu’min adh-Dha‘îf (orang mukmin yang lemah) gara-gara hidup papa.
Pandangan Sufyan ini berangkat dari keprihatinannya terhadap fenomena kaum sufi waktu itu. Sekian banyak sufi justru hidup menunggu sedekah, menjadi beban orang lain, menjual citra sufi di depan pintu para saudagar dan bangsawan. Ia berkata: “Mati dengan meninggalkan sepuluh ribu dinar yang kelak menjadi tanggungan hisab lebih aku sukai daripada aku membutuhkan orang lain. Dulu, kekayaan memang tidak disukai. Tapi, saat ini kekayaan adalah perisai yang dapat melidungi orang-orang mukmin dari menengadahkan tangan kepada para penguasa dan orang-orang kaya.”
Atas dasar kenyataan ini, Sufyan dan segala ketokohannya di dunia sufi, justru memompa mereka untuk bekerja. Bekerja sama sekali tidak mengurangi tawakal jika tawakal itu dipahami secara benar. Abdullah bin Mubarak berkata: “Bekerja tidak membuatmu terhalang untuk bersikap pasrah dan tawakal, asal keduanya tidak kau lemparkan saat bekerja.” Bahkan, tokoh sufi sekaliber Mansur bin Ammar justru bekerja dengan mengajar dan berceramah. Meskipun apa yang dilakukan oleh Mansur ini memancing reaksi agak keras dari Bisyr bin Harits al-Hafi, tokoh sufi lain di Bagdad.
Tasawuf tidak melarang orang bekerja dan menjadi kaya. “Tawakal adalah gerak hati Rasulullah SAW, sedangkan bekerja adalah sunah Rasulullah e,” kata Ibnu Salim. Tokoh-tokoh sufi seperti asy-Syibli memilih untuk bekerja. Hanya saja, tasawuf memberikan batas-batas etika yang ketat bagi mereka yang hendak terjun menekuni sebuah profesi atau pekerjaan tertentu. Sejarawan tasawuf, ath-Thusi, merekam etika bekerja itu dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh sufi. Di antaranya: ia tidak boleh menjadikan pekerjaan sebagai tonggak bersandar dan jangan sampai malupakan Tuhan pada setiap langkah dalam pekerjaannya.
Memang, dalam jenjang penempaan sufi ada yang disebut dengan makam faqr (fakir). Hakikat makam ini tidak seperti kesan yang tergambar dari istilah itu. Dengan makam ini bukan berarti seorang sufi tidak boleh memiliki apapun, melainkan seorang sufi tidak boleh dimiliki oleh apapun. Beginilah orang-orang shiddîqîn dalam menyikapi aset materi yang mereka miliki. Ketika masuk ke dalam pintu kekayaan, sebetulnya mereka keluar; ketika bersama, sebetulnya mereka berpisah.
Salah satu ciri seorang telah mencapai makam ash-Shiddîqîn ini adalah ketahanannya dalam menghadapi ujian nikmat (al-basth). Nikmat sejahtera merupakan ujian terberat yang sangat sulit dilalui oleh seorang yang menempuh jalan sufi. Ketika diuji dengan kesengsaraan, seseorang akan cenderung mengingat Tuhan. Namun, jika diuji dengan kemewahan, maka ia cenderung melupakan Tuhan. Dalam al-Quran berulang kali Allah SWT. menyebut karakter labil manusia yang menyembah Allah SWT dengan ikhlas justru saat ia berada dalam kesulitan. Dalam etika sufi disebutkan bahwa tidak ada yang tahan terhadap ujian sejahtera (al-sa‘ah) kecuali para nabi dan shiddîqîn.
Tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup kaya adalah karena mereka sudah tahan menghadapi ujian sejahtera ini. Datang dan perginya kekayaan sama-sama tidak memiliki pengaruh apapun terhadap konsentrasi ibadah dan tawakal mereka. Dan, di sisi lain kekayaan itu memiliki nilai plus dalam dakwah. Maka, ada sufi yang menjatuhkan pilihan untuk menjadi sufi berduit.