Saat politik Abbasiyah guncang dan akidah pada masa itu semakin kabur dengan paham-paham yang menyimpang, seperti kaum Qaramithah yang berusaha menyesatkan orang-orang awam serta bertambah tumbuh suburnya paham Muktazilah yang semakin mengakar, lahirlah Imam Abu al-Hasan al- Asy’ari, sebagai perumus formula dalam bidang ushuluddin yang sesuai dengan manhaj Ahlusunah serta berusaha menolak segala bantahan golongan yang sesat dan pembuat bidah, sebagaimana penuturan Ibnu ‘Asakir dalam Tabyînu Kidzb al-Muftari.
Al-Asy’ari memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari. Al-Asy’ari, menurut Ibnu ‘Asakir lahir di Bashrah tahun 260 H atau 873 M, bertepatan pada tahun wafatnya filosof Arab, Imam al-Kindi.
Dalam Thabaqat Syafi’iyyah al-Kubra, Tajuddin as-Subki menyebutkan bahwa sejak masih muda Abu al-Hasan al-Asy’ari sudah yatim. Kemudian, atas wasiat ayahnya, Abu al-Hasan al-Asy’ari melaksanakan wasiat ayahnya untuk menimba sanad hadis kepada Syekh Zakaria as-Saji, salah satu ulama yang eksper (pakar) dalam ilmu hadis dan ilmu fikih yang juga murid terbaik Imam Ahmad bin Hanbal. Selain itu, Abu al-Hasan al-Asy’ari juga mengambil sanad hadis kepada Abu Khalaf al-Jahmi, Abu Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqri’, dan Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri. Kemudian belajar fiqh asy-Syafi’i kepada Abu Ishaq al-Marwazi.
Baca Juga: KH. M. Hasyim Asy’ari; Rihlah Sang Pendiri NU
Memang benar, setelah genap berumur 10 tahun al-Asy’ari mendalami akidah Sunni, ia beralih ke akidah Muktazilah dalam bimbingan Ali al-Juba’i seorang tokoh ulama Muktazilah yang juga ayah tirinya, sebagaimana tercatat dalam al-Wâfi bi al-Wafayat oleh Shalahuddin ash-Shafadi dalam. Akan tetapi, pengalamannya berdiskusi bersama para pakar sekte Muktazilah pada masa mudanya, kelak akan menjadi bekal untuk mematahkan setiap argumentasi sekte Muktazilah ketika ia telah terpanggil untuk membela manhaj Ahlussunah wal Jamaah.
Salah satu riwayat asal mula Abu al-Hasan al-Asy’ari terpanggil untuk membela manhaj Ahlussunah wal Jamaah, sebagaimana yang dicatat Ibnu ‘Asakir, bahwa ia berkata, “Terbenak dalam hatiku (Abu al-Hasan al-Asy’ari), beberapa permasalahan dalam Ilmu Akidah. Maka, aku pun berdiri untuk menjalankan salat dua rakaat. Aku meminta kepada Allah agar memberiku petunjuk menuju jalan yang lurus. Aku pun tertidur, tak lama kemudian aku bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Mengadukan beberapa permasalahan kepada beliau. Rasulullah pun mewasiatkan, ‘Tetapilah sunnah-ku.’ Aku pun terbangun dan aku membandingkan beberapa permasalahan Ilmu Akidah dengan dalil yang aku temukan dalam al-Qur’an dan hadis. Kemudian aku menetapinya dan membuang selainnya ke belakang punggungku.”
Baca Juga: Imam al-Maturidi; Perancang Konstruksi Akidah Aswaja
Setelah itu, Abu al-Hasan al-Asy’ari ber-khalwat di rumahnya dan menyibukkan diri untuk menulis pembelaan terhadap manhaj Ahlussunah wal Jamaah. Kemudian setelah 15 hari lamanya, Abu al-Hasan al-Asy’ari keluar dari rumahnya menuju masjid jamik kota Bashrah dan menaiki mimbar, setelah itu beliau menyatakan pertobatannya serta melepaskan seluruh akidah menyimpang yang ia yakini sebelumnya seraya melepaskan pakaiannya.
Setelah al-Asy’ari keluar dari Muktazilah, sebagaimana penjelasan Hammudah Gharrabah dalam kitab Abu al-Hasan al-Asy’ari, aktivitas intelektualnya semakin memadat. Al-Asy’ari mengisi hari-harinya dengan mengajar teologi di masjid jamik Basrah yang penuh dengan kaum pelajar dari berbagai penjuru.
Selain itu, aktivitasnya juga ia isi dengan menjawab pertanyaan dari pelbagai daerah, serta mendatangi majelis ahli bidah untuk melakukan perdebatan (mujadalah) dengan mereka. Suatu hal yang belum pernah diaplikasikan ulama sunni pada periode sebelumnya.
Baca Juga: Imam as-Sanusi; Pengarang Ummul-Barahîn
Al-Asy’ari memiliki banyak murid yang kreatif dan bekerja keras dalam menyebarkan ilmunya dan mempertahankan pemikirannya. Murid-muridnya tidak hanya pakar dalam bidang teologi, tetapi mereka berangkat dari latar belakang keilmuan yang beragam seperti hadis, tafsir, fikih, tasawuf dan lain sebagainya. Sehingga mazhab dan pemikiran al-Asy’ari disebarkan melalui berbagai macam studi keislaman.
Di antara murid al-Asy’ari adalah al-Imam Ibnu Mujahid, Abu Zaid al-Marwazi, Ibnu Khafif adh-Dhabbi, Abu Bakar al-Ismaili, Abu al-Hasan al-Bahili, Al-Imam Bundar asy-Syirazi ash-Shufi, Ali bin Mahdi at-Thabari, Abu Husain bin Sam’un, Abu Sahal ash-Shu’luki, Abu Bakar al-Qaffal.
Sebenarnya, masih banyak murid beliau yang tidak terekspos dalam sejarah yang juga memberikan kontribusi keilmuan terhadap agama.
Sebagai ulama berwawasan luas, tentunya tak heran jika ilmu yang beliau punya dituangkan dalam bentuk tulisan agar bisa menjadi rujukan (al-marâji’) bagi generasi mendatang. Menurut Ibnu ‘Asakir, Abu al-Hasan al-Asy’ari memiliki 90 karya tulis. Menurut Ibnu Hazm, Ibnu Katsir, dan Ibnu Imad al-Hambali, beliau memiliki 55 karya tulis. Sedangkan menurut Tajuddin as-Subki, beliau memiliki 21 karya tulis. Akan tetapi, dari sekian banyak karya yang beliau tulis, hanya beberapa kitab saja yang berhasil tercetak sampai saat ini, Antara lain; Maqâlatul-Islâmiyyah, al-Luma’ fi Raddi ala Ahli Zaigh wal Bida’, Tafsîrul-Qur’an, al-Imad fi Ru’ya, Risâlatul-Iman, Risâlatul-Istihsân al-Khaud di Ilmil-Kalâm, Qaul Jumlah Ashâbul-Hadîts wa Ahlussunnah fil-I’tiqâd, dan al-Ibânah an Ushulid-Diyânah.
Baca Juga: Imam asy-Syahrastani; Ulama Sekokoh Baja
Menjelang wafatnya pada tahun 324 H, Abu al-Hasan al-Asy’ari berwasiat kepada murid-muridnya untuk tidak mengkafirkan sesama umat Islam. Sebagaimana keterangan adz-Dzahabi dalam Siyârul ‘Alam an-Nubala’, yang artinya, “Dari Zahir bin Khalid, bahwasanya beliau bercerita, “Ketika telah dekat ajal Abu al-Hasan al-Asy’ari pada rumahku di Baghdad, beliau memanggilku, maka aku pun mendatanginya. Abu al-Hasan al-Asy’ari berwasiat, ‘Aku bersaksi bahwa aku tak pernah mengkafirkan satu pun orang dari golongan ahlul qiblah (umat Islam), karena seluruhnya menghadap kepada Zat yang disembah yang satu. Sesungguhnya perbedaan yang ada adalah perbedaan dalam penjelasannya saja.”
Setelah sekian lama menyebarkan akidah Ahlusunah wal Jamaah di berbagai daerah, Abu al-Hasan al-Asy’ari tutup usia di Baghdad pada tahun 324 H sebagaimana catatan Ibnu Faurak dalam Thabaqatul-Mutakallimîn. Ibnu ‘Asakir menambahkan bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari dikebumikan di dekat makam Imam Ahmad di daerah perbatasan antara al-Karkhi dan Bashrah.
Ahmad Zaini|Annajahsidogiri.id
Comments 0