As-sholatu ‘imaduddin, salat adalah tiang agama, ungkapan ini cukup menggambarkan begitu urgensi salat dalam beragama. Sebagaimana bangunan tentu akan roboh tanpa tiang yang kokoh, pun agama akan runtuh jika tidak memiliki penyangga kuat untuk menopangnya. Pentingnya salat dan kewajiban mendirikannya merupakan hal yang dapat kita ketahui secara aksioma (pernyataan yang dapat terlihat kebenarannya tanpa perlu bukti) dalam agama, sehingga tidak satu pun dari ulama salaf maupun khalaf yang mengingkarinya.
Namun sekalipun demikian, ternyata ada saja kelompok yang mencoba mendekontruksi syariat yang sudah final ini, seperti orang-orang yang berpaham aliran hakekat, dengan memahami secara tekstual ayat;
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي. طه : 14
“Sungguh, aku ini Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan salat untuk mengingatku”.
Baca Juga: Mengqadha’i Salat Orang Mati
Mereka berargumen bahwa tujuan dalam melakukan salat adalah mengingat Allah I, dan jika tujuan tersebut sudah tercapai, maka tidak perlu mendirikannya, karena salat dan segala hal yang berkaitan dengannya, seperti wudhu’ dan setiap rukunnya, baik fi’li atau qauli hanya bersifat seremonial belaka.
Ungkapan tersebut tentu sama sekali tidak benar. Karena begitu banyak dalil naqli yang menununjukan kewajiban melakukan sholat, salah satunya adalah surah Hud ayat 114:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
“Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah).”
Ayat tersebut dengan sangat gamblang menetapkan kewajiban sholat berikut waktu pelaksanaannya, yaitu pada dua penghujung siang (Subuh, Dzuhur dan Ashar) dan paruh awal malam (Maghrib dan Isya’). (Lihat: Tafsîrul-Jalâlain, hal. 189)
Baca Juga: Buletin Tauiyah 231
Sedangkan tentang bagaimana menunaikannya yang terdapat dalam hadis riawayat Abu Hurairah, yang artinya:
“Ketika kalian (hendak) melakukan salat maka sempurnakanlah wudhu’ lalu menghadaplah qiblat, kemudian bacalah sebagian dari ayat al-Quran, lalu rukuklah sampai kamu tenang dalam keadaan rukuk, kemudian angkatlah (kepalamu) sampai badanmu tegak bediri, lalu sujud sampai kamu tenang dalam keadaan sujud, kemudian angkatlah (kepalamu) sampai posisi duduk, kemudian sujudlah sampai kau tenang dalam keadaan sujud, selanjutnya lakukanlah seperti itu di setiap sholatmu”. (Lihat: Bulûghul-Marâm, hal. 61)
Kemudian dari hadis di atas ulama menetapkan definisi salat, sebagai ucapan dan perbuatan yang secara umum dibuka dengan takbirotul ihram dan ditutup dengan salam.
Dengan demikian dapat kita fahami bahwa salat adalah kewajiban, dan kewajiban itu bisa gugur jika segala syarat dan rukun yang berkaitan dengannya terpenuhi, bukan dengan sekedar mengingat Allah. Bahkan lebih dari itu, Habib Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’lawi dalam kitabnya, Sullamut-Taufiq mengkategorikan penafian kewajiban yang sudah mujmak ‘alaih dan dapat diketahui secara dhoruri, seperti sholat lima waktu sebagai perkara yang menyebabkan murtad (keluar dari Islam). Wal-‘iyadzu billah.
Moh Romli | Annajahsidogiri.id