Ajaran taqiyahtermasuk akidah Syiah yang menyalahi Islam. paham ini menempati kedudukan yang tinggi dalam kalangan Syiah. Menurut mereka, para nabi dan rasul pun diperintahkan untuk melakukannya. Ulama Syiah menjelaskan definisi taqiyah ini. Al-Mufîd dalam Tash-hîhul I’tiqâd al-Imamiyah berkata, “Taqiyah adalah merahasiakan al-haq (keyakinan Syiah,red) dan menutupi diri dalam meyakininya, berkamuflase di hadapan para penentang (orang-orang yang berseberangan dalam keyakinan) dan tidak mengusik mereka dengan apa saja yang akan menyebabkan bahaya bagi agama dan dunia (orang-orang Syiah). Yusuf al-Bahrâni (tokoh Syiah abad 12 H) berkata, “Maksudnya menampakkan kesamaan sikap dengan para penentang dalam apa yang mereka yakini karena takut kepada mereka.” Al-Khumaini berkata, “Taqiyah artinya seseorang mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan realita atau melakukan sesuatu yang berseberangan dengan aturan syariah guna menyelamatkan nyawa, kehormatan atau kekayaannya.”
Melalui tiga definisi taqiyah dari tiga ulama besar Syiah di atas dapat disimpulkan bahwa, pertama, makna taqiyah adalah seseorang menampakkan sesuatu yang berbeda dengan hatinya di hadapan orang lain. Kedua, Dipraktikkan di hadapan para penentang mereka sehingga seluruh kaum muslimin masuk dalam kategori ini (para penentang mereka). Ketiga, taqiyah dilakukan dalam urusan yang berkaitan dengan praktik agama orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Keempat, taqiyah dilakukan karena rasa takut, ingin memelihara agama, jiwa dan harta.
Beberapa riwayat tentang kedudukan taqiyah versi Syiah dalam kitab-kitab induk mereka yang menunjukkan ketinggian kedudukan akidah taqiyah ini. Al-Kulîni (seorang Ulama Syiah) meriwayatkan perkataan Jakfar ash-Shâdiq yang berbunyi,
التَّقِيّضةُ دِيْنِيْ وَدِيْنُ آبَاءِيْ، لاَإِيْمَان لِمنْ لاَتقِيَّةَ لَهُ
Artinya, “Taqiyah adalah agamaku dan agama moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak melakukan taqiyah.”
Abu Abdillâh berkata, “Sesungguhnya 9/10 dari agama terdapat dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah.” [Al-Khishâl, Ibnu Bâbuyah al-Qummi, 1/25].
Al-Bâqir berkata, “Akhlak terbaik para imam dan orang-orang terkemuka Syiah adalah bertaqiyah.” [Al-Ushûl al-Ashîlah hal. 324].
Dalam al-Mahâsin, (sebuah rujukan Syiah) diriwayatkan dari Habîb bin Basyîr dari Abu Abdillâh, ia berkata, “Demi Allah SWT, tidak ada di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada taqiyah. Habîb, orang yang melakukan taqiyah, akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT serta orang yang tidak melakukan taqiyah, Allah SWT akan menghinakannya.” [al–Mahâsin: 259].
Secara nyata, mereka memberlakukan akidah taqiyah di seluruh kondisi. Dalam ibadah umpamanya; tidaklah mereka mengerjakan shalat dengan kaum muslimin kecuali dalam rangka menjalankan akidah taqiyah, yang dalam bahasa lain adalah untuk memperdayai dan menipu kaum muslimin agar perbedaan tajam yang ada pada keyakinan Syiah tidak tampak. Dalam masalah bersumpah, ulama mereka memperbolehkan mengeluarkan sumpah-sumpah dusta, tanpa perlu membatalkan atau membayar kafarah-nya.
Kebatilan prinsip taqiyah di atas sudah bukan barang aneh lagi bagi Ahlusunnah. Pasalnya, landasan Syiah memang adalah dusta dan tipu-daya. Semua yang mereka yakini tidak berasaskan dalil-dalil syar’i. Pijakan mereka hanyalah kemunafikan dan kebohongan. Syaikh DR Ibrâhim ar-Ruhaili hafizhahullâh mengomentari riwayat-riwayat di atas, “Riwayat-riwayat itu menunjukkan bagaimana kedudukan taqiyah dalam pandangan mereka dan derajatnya yang agung dalam agama mereka. Sebab taqiyah menurut Syiah termasuk prinsip agama yang terpenting. Tidak ada keimanan sempurna bagi orang yang tidak bertaqiyah. Orang yang meninggalkan taqiyah laksana meninggalkan shalat, bahkan taqiyah melebihi seluruh rukun Islam. Taqiyah mewakili 9/10 agama mereka. Sementara rukun-rukun Islam dan kewajiban-kewajiban lain terletak pada 1/10 bagian yang tersisa saja.”
Syaikhul Islam rahimahullah memaparkan, “Sebagaimana telah dimaklumi mereka paling buta terhadap ayat al-Qur`an, hadis dan atsar dan paling tidak tahu bagaimana cara memilah antara dalil yang shahih dan yang lemah. Pijakan mereka dalam dalil-dalil naqli adalah sejarah yang terputus sanadnya, bahkan kebanyakan riwayat itu berasal dari orang-orang yang telah dikenal akan kedustaan bahkan kekufurannya. Ulama mereka berpegangan pada riwayat seperti Abu Mikhnaf, Luth bin Yahya, Hisyâm bin Muhammad bin Sâib dan lainnya yang kedustaannya sudah tidak asing lagi di kalangan ulama Islam.
Anehnya, orang-orang seperti itu merupakan orang penting bagi Syiah dalam urusan Riwayat. Menampakkan diri dengan sesuatu yang tidak diyakini dan dikerjakan oleh seseorang bukanlah sifat kaum mukmin. Akan tetapi, bagian dari karakter orang munafik. Allah SWT berfirman,
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Artinya, “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu. Kami hanyalah berolok-olok’.” [al-Baqarah:2/14]
Allah SWT berfirman:
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
Artinya, “Mereka (orang-orang yang munafik) mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya.” [Ali Imrân:3/167]
Setiap orang yang mempunyai akal akan memahami konsekuensi akidah taqiyah, sebab pada hakikatnya, taqiyah merupakan intisari dari kemunafikan dan kebohongan. Akibatnya, tidak tampak perbedaan antara seorang mukmin dan kafir, orang shalih dan orang jelek serta orang jujur dan orang dusta. Selanjutnya, prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya akan lenyap. Syiah mengharuskan seseorang untuk menggunakan taqiyah dalam segala kondisi. Menjadi seorang Yahudi saat berinteraksi dengan orang Yahudi, menjadi Nasrani saat bersama orang Nasrani dan seterusnya. Meski demikian, mereka menganggap diri sebagai kaum mukminin dan menilai orang di luar mereka sebagai orang-orang murtad dan munafik, padahal mereka lebih pantas berjuluk sebutan itu, sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [Minhâjus Sunnah 1/85, 69]
Dalam al-Qur’an, berbicara dengan lisan yang berbeda dengan isi hati termasuk karakter kaum munafik, berdasarkan firman Allah SWT
يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۗ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ
Artinya, “mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. dan Allah lebih mengetahui dalam hatinya dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” [Ali Imran/3:167]
Kanzul Hikam | Annajahsidogiri.id