Imam Abu Hasan al-Asy’ari lahir pada paruh kedua abad ketiga dan paruh pertama abad keempat Hijriah. Periode tersebut menyaksikan berbagai peristiwa penting dalam bidang pemikiran, terutama pengaruh dominan dalam dinamika teologi secara khusus dan cakrawala ilmu-ilmu keislaman pada umumnya. Masa itu dikenal dengan al-‘ashr adz-dzahabī, yakni masa gemilang ilmu keislaman. Sebab, pada masa itu setiap orang berhak mengeluarkan pandangan dan memperkuatnya dengan berbagai bukti, landasan dan justifikasi. Klimaksnya, berbagai aliran dengan pemikiran menyimpang begitu pesat menyebar.
Pada masa itu, Imam Abu Hasan al-Asy’ari masih bersikukuh memegang keyakinannya terhadap ideologi Muktazilah. Beliau berguru kepada salah seorang tokoh Muktazilah, Syekh Abu Ali al-Juba’i. Dalam mengikuti ajaran ini, beliau menggelutinya dalam kurun waktu empat puluh tahun. Karena memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata, tak jarang beliau diutus oleh maha gurunya dalam mengikuti diskusi ilmiah ataupun perdebatan di berbagai forum.
Baca Juga: Posisi Akal dalam Islam
Namun pada akhirnya, beliau hijrah dari ideologi Muktazilah menuju ajaran Ahlusunah wal Jamaah. Syekh Ibnu Asakir ad-Dimasyqi, Syamsuddin Ibnu Khallikan, Imam Tajuddin as-Subki menyatakan bahwa setidaknya ada sebab Imam Abu Hasan al-Asy’ari keluar dari ideologi Muktazilah. Pertama, tidak sedikit dalam kegiatan kajian yang diasuh Syekh Ali al-Juba’i, Imam Abu Hasan al-Asy’ari menilai adanya berbagai kerancuan. Beliau juga sering risih dengan gurunya yang selalu mendahulukan akal dan mengenyampingkan dalil-dalil naqlī. Sehingga tak jarang dari penerapan mendahulukan akal, al-Asy’ari menemukan jalan buntu dan juga bisa dipatahkan oleh argumentasi akal yang sama.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, saat itu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari menyendiri tidak keluar rumah selama lima belas hari (’uzlah). Tepat pada hari Jumat, beliau menaiki mimbar masjid dan berpidato, “Sungguh aku telah menghilang dari kalian selama lima belas hari, selama itu aku meneliti dan dalil-dalil ideologi Muktazilah. Ternyata semua dalilnya rancu. Lalu aku memohon kepada Allah agar diberi petunjuk, lalu tak berselang lama Allah pun memberi petunjuk dengan meyakini apa akan aku tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat itulah aku mencabut diri dari ajaran Muktazilah.” Kedua, ketidakpuasan al-Asy’ari terhadap jawaban sang guru, Syekh Ali al-Juba’i. Beliau tidak setuju dengan konsep as-shalấh wal-ashlah yang disandarkan kepada Allah.
Baca Juga: Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; Perumus Formula Akidah Aswaja
Menurut pemahaman konsep tersebut, Allah wajib berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya. Suatu hari, Imam Abu Hasan al-Asy’ari menanyakan nasib tiga orang yang meninggal dunia; orang meninggal dunia dalam keadaan mukmin, meninggal dunia dalam keadaan kafir dan meninggal dunia dalam masa kanak-kanak. Al-Juba’i menjawab, “Orang mukmin bakal mendapat derajat tinggi, orang kafir akan celaka dan anak kecil pasti selamat.” al-Asy’ari kembali bertanya, “Lalu bagaimana kalau anak kecil menuntut Allah agar diberi derajat yang tinggi, sebagaimana yang diperoleh orang mukmin?” sang guru menimpali, “Tidak bisa, karena Allah bakal berfirman kepada anak itu, “Orang mukmin mendapat derajat tinggi sebab amal kebajikannya. Sedangankan kamu belum sempat melakukannya.” al-Asy’ari bertanya lagi, “Loh, seandainya si anak kecil protes kepada Allah bagaimana? Bukannya ia belum bisa melakukan amal saleh karena nyawanya dicabut di waktu masih kecil.” Syekh Al-Juba’i menjawab, “Allah bakal menjawab, “Seharusnya kamu bersyukur Aku matikan sejak kecil, sebab aku tahu takdirmu, bahwa kamu nanti ketika dewasa akan menjadi orang kafir dan celaka.”
Al-Asy’ari balik bertanya, “Kalau memang begitu, nanti orang kafir juga protes kepada Allah, kenapa dirinya tidak dimatikan sewaktu kecil agar selamat di akhirat, padahal Allah tahu akan dirinya bakal celaka sebab kekafirannya.” Mendengar pertanyaan tersebut, Syekh Ali al-Juba’i bungkam seribu bahasa. Ia tidak berkutik atas jawaban akal-akalannya. Diperlakukan sedemikian malu, beliau berkata kepada Imam Al-Asy’ari, “Kamu hanya merusak keyakinan yang sudah ada.” Imam al-Asy’ari menjawab, “Saya tidak bermaksud demikian. Hanya saja Anda belum bisa menjawab pertanyaanku.”
Demikianlah kecerdikan panutan Teologi Ahlusunah wal Jamaah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Beliau membantah pemikiran Muktazilah baik dengan dalil ‘aqlī maupun naqlī. Saking getolnya dalam membantah ideologi Muktazilah, beliau mengarang banyak kitab akidah. Di antaranya al-Lumấ’ fīr-Raddi ‘Alấ Ahliz-Zaighi wal-Bidấ’ dan Kasyful-Astấr wa Hatkil-Asrấr.
Ali Abdillah | Annajahsidogiri.id
Comments 0