Para penulis modern kebanyakan memahami sistem shairūrah (becoming system) sebagai perubahan berkelanjutan dalam self-being pada materi secara keseluruhan. Hal ini tentu, sebagaimana disinggung pada tulisan Bagian I, karena mereka berasumsi bahwa materi memiliki kekuatan atau energi intrinsik untuk menggerakkan unsur-unsur yang membentuk dirinya.
Baca Juga: Filsafat Proses dan Syriat Islam dalam pandangan al-Buthi (Bagian I, Bagian II, & Bagian III)
Bagaimanapun asumsi tersebut adalah keliru dan tidak memiliki landasan ilmiah apapun. Sebab secara ilmiah dapat dipastikan bahwa ruang lingkup perubahan yang berkelanjutan (shairūrah atau sairūrah) itu hanya terjadi pada aspek-aspek lahiriah materi yang tampak, dan tidak sampai menyentuh pada aspek tersembunyi di dalam materi yang disebut sebagai inti materi (jauhar, māhiyah).
Tentu sudah maklum, bahwa segala sesuatu tentang alam materi pasti terdiri dari dua aspek, yakni aspek luar yang bisa dijangkau oleh panca indera, seperti warna, panas, kaku, panjang, lebar, dan sebagainya, serta aspek inti materi yang tersembunyi dan menetap di dalam materi tanpa terpengaruh oleh perubahan apapun (inti materi, jauhar).
Al-Buthi berkata, “Hingga hari ini saya tidak mengetahui ada seseorang yang mampu mengungkap hakikat dari inti materi ini, atau mampu melihat salah satu karakteristiknya. Namun kendati demikian, saya juga tidak mendapati ada seseorang yang berasumsi bahwa materi itu hanya terdiri dari himpunan aspek lahiriah semata, dan bahwa tidak ada sesuatu yang disebut jauhar atau inti materi di dalamnya.”
Selanjutnya, telah terjadi konsensus bahwa apa yang disebut jauhar atau inti materi itu adalah sesuatu yang tetap, tidak terpengaruh oleh perubahan, perkembangan atau pergantian apapun, terkecuali ide nyeleneh yang muncul dari para pemuka filsafat idealisme, yang memang mengingkari keberadaan materi, baik aspek luarnya yang terlihat maupun aspek terdalamnya yang tersembunyi (jauhar).
Baca Juga: Epistemologi Barat vs Islam (Part III)
Adapun argumen bahwa inti materi (jauhar) itu ada, dan bahwa ia tidak tergilas oleh hukum perubahan dan perkembangan apapun, adalah jika diasumsikan bahwa jauhar itu tidak ada di dalam bangunan materi, berarti materi itu sebatas terdiri dari bentuk-bentuk luar itu saja. Jika demikian halnya, maka sistem the law of becoming (qanūn ash-shairūrah) yang tengah kita diskusikan ini akan menggilas karakteristik materi-materi, sehingga berbagai jenis materi yang berbeda-beda akan bercampur satu sama lain disebabkan terjadinya pergeseran, pergesekan, pergantian, perubahan, dan proses-proses dinamis oleh becoming system dalam tempo yang lama dan berkelanjutan, sehingga pada gilirannya tidak bisa dibedakan antara pohon dengan batu, tempe dengan tahu, emas dengan perak, tembaga dengan besi, dan seterusnya. Demikian pula jika jauhar diasumsikan ada, namun juga tunduk pada becoming system, maka hasilnya akan sama saja.
Dengan demikian, maka keputusan ilmiah menetapkan bahwa inti materi (jauhar) itu ada secara meyakinkan di dalam bangunan setiap materi, dan bahwa ia tetap, stabil, tidak tunduk pada hukum proses dan perubahan apapun. Karena itu, sebagian ilmuwan menyebut jauhar atau inti materi itu dengan “Static Mediator” (al-Wasīth as-Sākin). Keberadaan inti materi dengan keistimewaan berupa tak tergilas oleh hukum perubahan inilah yang membikin materi-materi dalam wujud yang beragam tetap dalam bentuk mereka yang spesifik dan unik, sejak masa yang paling awal ketika mereka diciptakan, hingga saat ini dan nanti.
Jika demikian halnya, maka bisa disimpulkan bahwa sebenarnya hukum proses (as-sairūrah w ash-shairūrah) ini merupakan bagian dari tatanan Rabbani yang terintegrasi. Bukan satu-satunya penerjemahan total bagi sistem yang berlaku di alam raya ini.
Selanjutnya, jika kita memikirkan tentang sejumlah tatanan Rabbani yang terintegrasi di alam raya ini, yang terdiri dari bentuk-bentuk lahiriah yang senantiasa bergerak dan berubah-ubah, dan unsur akar atau inti terdalam yang tetap dan tidak berubah-ubah, maka kita bisa memahami bahwa pada hakikatnya semua itu merupakan sistem makro yang stabil, tetap dan tidak berubah-ubah. Sedangkan becoming system (qanūn ash-shairūrah) yang menjadi bagian dari sistem alam ini hanya merupakan salah satu manifestasi dari sistem makro yang tetap, stabil, dan tidak berubah-ubah tadi. Artinya, hukum perubahan yang terjadi di alam raya ini mengekor pada hukum makro alam semesta yang tetap dan tidak berubah-ubah, dan bukan sebaliknya.
Sampai di sini, kita memahami bahwa segala sistem yang berlaku di alam raya ini adalah ketetapan dari Sang Pencipta alam semesta. Secara keseluruhan, hukum alam adalah tetap dan stabil, dengan ketetapan dari Sang Pencipta. Namun bagian-bagian atau cabang-cabang di dalam hukum alam makro yang tetap itu ada yang berubah-ubah, yaitu lahiriah materi, dan ada yang tetap dan tak berubah-ubah, yaitu inti materi. Hal ini memiliki pijakan yang sangat kuat dari al-Quran, sebagaimana akan dipaparkan pada tulisan selanjutnya, insya-Allah.
Moh. Achyat Ahmad | Direktur Annajah Center Sidogiri