Pengertian Singkat Pluralisme Agama
Secara sederhana, Dr. Syamsuddin Arif dalam salah satu artikel yang beliau sampaikan dalam seminar di Malaysia, mengartikan pluralisme sebagai suatu pandangan, pikiran, keyakinan bahwa agama-agama yang bermacam-macam dan berbeda-beda itu mempunyai kesamaan dari segi ontologi, soteriologi, dan epistimologi.
Lebih sederhana lagi, pluralisme agama bisa kita artikan sebagai paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Semua agama adalah jalan menuju keselamatan. Perbedaan hanya terletak pada praktik dan zahir agama.
Tidak jelas sebenarnya, kapan kemunculan persis paham ini dan siapa inisiatornya. Orang-orang yang mendalami dan mengkaji tentang pluralisme agama, mentok-mentok menggandengkan paham ini kepada beberapa pemikir Kristen modern.
Beberapa pemikir itu adalah Jhon Hick, Raimundo Panikkar, Wilfried Cantwell Smith, dan Fritjhof Schuon. Namun di antara beberapa pemikir ini, yang paling nampak dan sering dikutip adalah John Hick, seorang profesor teologi Kristen. Adian Husaini menyebutnya “Salah satu tokoh utama paham religious pluralism.”
Baca Juga: Kerancuan Dalil Pluralisme Agama
John Hick sendiri dalam bukunya, The Encyclopedia of Religion, membuat definisi:
“Secara filosofis, istilah (pluralisme) itu merujuk pada teori tertentu tentang hubungan antara tadisi-tradisi ini, dengan masing-masing klaim mereka yang berbeda dan saling merasa lebih unggul. Ini merupakan teori dimana agama-agama besar dunia meletakkan konsepsi dan persepsi yang beragam, berikut respon-responnya, terhadap realitas ketuhanan yang misterius dan paripurna… Pluralisme yang eksplisit menerima posisi yang lebih radikal dari yang diambil oleh inlklusivisme: pandangan bawah iman-iman besar dunia mewujudkan persepsi dan konsepsi yang berbeda, dan bersamaan dengan itu respon yang berbeda terhadap “Sang Wujud” (the Real) atau “Sang Paripurna” (the Ultimate), dan di dalam masing-masing keyakinan itu secara independen terjadi transformasi keberadaan manusia, dari pemusatan pada diri menuju pemusatan pada kenyataan. Maka tradisi-tradisi agama besar akan dianggap sebagai “ruang” soteriological alternatif di mana di dalamnya – atau “jalan-jalan” di mana – kaum lelaki dan perempuan dapat menemukan keselamatan, kemerdekaan dan kebahagiaan.”
Dr. Ahmad Mamduh Saad, Sekretaris Darul-Ifta’ al-Mishriyah, organisasi yang memilki otoritas penuh untuk memproduksi fatwa di Mesir, dalam bukunya, at-Ta’adudiyah ad- yang terkandung dari perkataan John Hick tadi. Beliau menampilkan tiga interpretasi.
Pertama, tidak ada agama yang berstatus benar secara absolut. Semua agama adalah campuran dari kebenaran dan kebatilan. Di antara kebenaran dan kebatilan itu tidak ada yang bisa dikatakan murni benar dan murni salah.
Kedua, betul bisa dikatakan bahwa kebenaran hanya ada satu. Lalu agama-agama adalah jalan berbeda menuju kebenaran itu. Allah, tuhan yang menjadi objek peribadatan di masjid, juga tuhan yang menjadi objek peribadatan di gereja atau vihara.
Ketiga, masalah kepercayaan dan keimanan adalah pengetahuan yang tidak bisa ditangkap oleh indra. Ia tida bisa dinafikan atau ditetapkan. Dengan demikian, kepercayaan tidak bisa dikatakan benar atau salah, dan sah atau batil. Juga tidak bisa ada satu hukum tertentu yang dinisbatkan pada kepercayaan. Sebab ia tidak memiliki eksistensi. Maka tidak masalah memilih bentuk apa pun dari berbagai macam kepercayaan.
Badrut tamam | Annajahsidogiri.id