Mempererat Toleransi
Masih mengutip pemikiran Cak Nur, pluralisme bagi dia adalah toleransi, toleransi adalah pluralisme. Hal itu sebagaimana tergambar dari salah satu tulisan dia berjudul, “Pluralisme dan Toleransi.”
Lewat tulisan ini, dia ingin lebih menekankan lagi pengamalan pluralisme yang dirasa masih kurang tepat.
“Jadi pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita adalah majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.”
Baca Juga: Akar Pluralisme Agama: Justifikasi Spekulatif Demi Tujuan Utopis (#2)
Setelah itu dia baru mengaitakannya dengan toleransi. Jika kita selama ini memahami bahwa toleransi adalah sikap menghargai umat agama lain dalam kehidupan sosial dengan ragam cara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, tanpa membenarkan keyakinan mereka, maka dalam pehaman Cak Nur kita salah besar.
“Jika demikian persoalan dalam prinsip pluralisme, lebih-lebih lagi demikian itu pula persoalannya dengan prinsip toleransi. Ada banyak indikasi bahwa masyarakat memahaminya hanya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi seperti tidak lebih daripada persoalan prosedural, persoalan tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal persoalan toleransi adalah persoalan prinsip, tidak sekadar prosedur.”
Salah satu jurnal terbitan Lakpesdan NU yang bekerjasama dengan The Asia Fondation, memuat tulisan yang isinya:
“Jika cara pandangnya (pendidikan Islam) bersifat eksklusif dan intoleran maka teologi yang diterima adalah teologi yang eksklusif dan intoleran, yang pada akhirnya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama lain. Kegagalan dalam mengambangkan semnagat toleransi dan pluralisme agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.”
Justifikasi Filosofis dan Agamis
Setelah jelas apa sebenarnya hal yang mendorong mereka untuk memperjuangkan pluralisme agama, baru mereka menciptakan justifikasi filosofis dan agamis untuk mendukung paham itu.
Ya, diciptakan sendiri. Sebab agama tidak pernah menyinggung dan membenarkan hal itu. Semua landasan justifikasi pejuang pluralisme, menggunakan bahasa anak-anak zaman sekarang, tidak lebih hanya sekadar cocoklogi.
Ada banyak sekali justifikasi yang mereka pakai. Satu sama lain dibangun agar bisa menguatkan bangunan paham pluralisme.
Beberapa di antara metode justicatif sudah tercium sejak lama oleh Syekh Abdurahaman Habanakah, guru Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Dalam kitabnya, Kawasyifuz-Zuyuf, beliau mengumpulkan landasan yang biasa dipakai untuk membenarkan paham sesat dalam satu bab berjudul, “Wasailut-Tadhlil li Tarwijisy-Syi’arat wal-Ara’ wal-Madzahib al-Fikriyah al-Muzayafah (Metode Penyesatan Untuk Mempromosikan Syiar, Opini, dan Mazhab Pemikiran yang Sesat)”
Berikut kami jelaskan beberapa justifikasi filosofis dan agamis yang biasa dipakai mereka yang memperjuangkan paham pluralisme agama. Sebagian dengan menggunakan sudut pandang klasifikasi metode penyesatan yang dipaparkan oleh Syekh Abdurahman Habanakah. Sedangkan sebagian yang lain tidak.
Parenialisme
Parenialisme adalah salah satu cabang ilmu filsafat. Kurang lebih, dalam menjadikan parenialisme sebagai justifikasi pluralisme agama, parenialisme agama sama dengan penafsiran kedua pekataan John Hick yang disebtukan oleh Dr. Ahmad Mamduh Saad, sebagaimana kami kutip di muka.
Komarudin Hidayat dan Muhammad Wahyudi Nafis, dalam buku mereka, Agama Masa Depan: Pespektif Filsafat Parenial, memberi gambaran:
“Akan tetapi filsafat parennial yang berpandangan bahwa Kebenaran Mutlak (The Truth) hanyalah satu, tidak berbagi, tetapi dari yang satu itu memancar berbagai kebenaran (truths) sebagaimana matahari secara niscaya memancarkan cahayanya. Hakikat cahaya adalah satu dan tanpa warna tetapi spektrum kilatan cahanya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan yang beraneka warna.”
Tak ketinggalan, Nurcholish Madjid juga menggunakan teori filsafat ini. Melalui tamsilnya yang sudah biasa kita dengar, dia mengakui bahwa agama dalam filsafat parenialisme terbagi menjadi dua level, lahir dan batin. Semua agama sama-sama benar secara batin, meski secara lahir tidak sama.
Dalam kata pengantar buku Tiga Agama Satu Tuhan, dia menulis, “Ibarat roda, pusat roda itu adalah tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai agama. Filsafat parenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi retatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah: satu Tuhan banyak jalan.”
Relativisme
Reduksi dalam agama adalah pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Karena kebenaran itu relatif atau nisbi, tidak ada yang mutlak. Paham ini kurang lebih sama dengan penafisran pertama yang ditampilkan oleh Dr. Ahmad Mamduh Saad, sebagaimana kami sudah jelaskan di awal tulisan.
Menurut pandangan ini, Islam bukan menjadi satu-satunya kebenaran. Agama lain juga benar. Agama lain juga bisa menjadi jalan keselamatan.
“Artinya, hanya Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi belaka. Jadi absolutisme lebih-lebih lagi seharusnya tidak terjadi di kalangan kaum Muslim.
Apalagi Islam selalu dilukiskan sebagai jalan, sebagaimana dapat dipahami dari istilah-istilah yang digunakan dalam Kitab Suci (shirāth, sabīl, syarī‘ah, tharīqah, minhāj, mansak). Kesemuanya itu mengandung makna “jalan”, dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah jalan menuju kepada perkenan Alah dengan segala sifat-Nya.”
Badruttamam | Annajahsidogiri.id