Akhir-akhir ini banyak kita temukan fenomena beragam yang dilakukan umat Islam, mulai dari mengucapkan ‘selamat Natal’ di perayaan orang Kristen, ikut andil dalam memeriahkan hari Valentine, sampai ceramah di dalam gereja. Fenomena semacam ini tentu tidak akan lepas dari kritikan, baik yang lembut maupun yang pedas, keduanya sama-sama memberikan tanggapan dari berbagai sisi. Namun yang disayangkan adalah, ada saja yang sampai memvonis mereka telah kafir, keluar dari Islam.
Baca Juga: Memahami Rida pada Takdir Kafir
Lantas bagaimanakah sebenarnya batasan orang Islam telah dikatakan murtad? Perlukah klarifikasi sebelum memvonis seseorang telah murtad atau tidak?
Memvonis orang Islam telah murtad adalah urusan yang besar, perlu kehati-hatian dalam mengambil sikap, banyak hal yang perlu dipertimbangkan, apalagi dia masih bersyahadat dan shalat.
Sayid Ahmad Masyhur al-Haddad telah menguraikan batasan-batasan tersebut dan dinukil oleh Sayid Muhammad bin Alawi dalam kitab beliau yang berjudul Mafâhim Yajibu an Tusahhahah:
Pertama, menafikan keberadaan Allah. Kedua, syirik yang nyata yang tidak memungkinkan untuk ditakwil. Ketiga, mengingkari kenabian. Keempat, mengingkari sesuatu yang ma’lum minad din bid-darûrah. Kelima, mengingkari hal yang mutawatir. Keenam, mengingkari sesuatu yang secara pasti telah disepakati dalam agama.
Di antara hal-hal yang ma’lûm minad din bid-darûrah seperti keesaan Allah, kenabian, Nabi Muhammad sebagai utusan terakhir, adanya hari kebangkitan, hari perhitungan amal, hari pembalasan, surga dan neraka.
Maka perlu adanya klasifikasi; jika tidak sampai melanggar batas-batas di atas, kita tidak boleh mengklaim dia telah murtad. Karena mengklaim murtad pada orang yang bukan semestinya malah akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad,
اَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِر فَقَدْ بَاءَ بِهَا اَحَدُهُمَا (رواه البخاري)
Kemaksiatan yang dilakukan umat Islam, tidak menjadikan mereka kafir asal mereka tidak sampai menganggap halal perbuatan maksiat itu. Selagi mereka beriman dan mengucapkan syahadat, kita tidak boleh mengkafirkan mereka. Nabi bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
“Tiga hal yang mendasar dalam Iman. Pertama, menahan diri dari orang yang telah mengucapkan La ilaha illa Allah, tidak kita keluarkan dari agama Islam karena perbuatan yang dia lakukan”
Dengan mengetahui batas-batas di atas lalu melakukan klarifikasi, kita bisa mengukur apakah seseorang masih pantas dikatakan mukmin atau tidak, juga agar tidak tergesa-gesa dalam mengklaim keimanan seseorang yang berkaitan penuh dengan nasibnya kelak di akhirat. Wallâhu ‘A’lam.
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id