Ada kelompok yang berasumsi bahwa manusia melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dan kekuatannya sendiri, tanpa memasukkan peran takdir. Sebagian yang lain menganggap bahwa manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali. Manusia seperti boneka, tidak memiliki daya dan upaya.
Munculnya dua kubu seperti ini bermula sebab tidak memahami makna qada dan qadar secara sempurna sesuai ajaran Ahlussunah wal Jamaah, sehingga pertentangan-pertentangan yang timbul menyebabkan umat terpetak-petak dalam berbagai aliran.
Baca Juga: Memahami Rida pada Takdir Kafir
Pengertian qada sendiri secara istilah ialah ilmu Allah dalam azal atas sesuatu yang akan terjadinya. Sedangkan qadar ialah perwujudan dari ilmu Allah dalam azal itu. Misalnya, Allah Swt. sejak azal Allah Swt. tahu kelak si A akan kaya (qadha’), lalu ketika si A terwujud ke dunia dan si A benar-benar kaya (qadar)
Namun perlu digarisbawahi bahwa semua peristiwa di alam semesta, mulai pekerjaan manusia, insiden tsunami, banjir dan lain-lain, semuanya tidak lepas dari ketentuan dan kehendak yang berasal dari Allah Swt. Dalam al-Quran disebutkan: “Katakanlah (Muhammad) tidaklah segala sesuatu menimpa kecuali sudah ditetapkan (di Lauhil-Mahfûdz) oleh Allah Swt. keberadaannya. Dialah Penolong kita. Dan kepada-Nya lah kaum Mukmin berserah diri.” (QS. At-Taubah: 51).
Manusia Bermaksiat, Siapa yang Salah?
Mungkin akan timbul kejanggalan dalam pikiran: Jika Allah menciptakan segala perbuatan manusia, entah itu baik atau buruk, lalu bagaimana korelasinya dengan kewajiban manusia untuk selalu patuh dan menjauhi larangan, padahal dia tidak memiliki kuasa untuk menentukan.
Allah Swt. memberikan potensi akal pada manusia agar bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, di samping Allah Swt. juga memberikan irâdah untuk melakukan hal yang baik dan buruk tersebut. Terbukti, mereka dapat merasakan tidak adanya keterpaksaan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan itu, bahkan mereka juga bisa merasakan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan atas kemauannya sendiri. Nah, semua pekerjaan tersebut sudah ada dalam ilmu Allah Swt. sejak zaman azali. Namun, kehendak atau irâdah Allah Swt. yang telah ditetapkan sejak zaman azal tersebut memiliki hubungan erat dengan kehendak manusia, sehingga mereka bisa mengontrol perbuatan yang dilakukan. Daya kontrol manusia itulah yang dinamakan ikhtiyar. Sehingga segala yang mereka pilih itu yang nantinya akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Bisa diambil contoh, tatkala seorang pengajar menginginkan untuk menguji muridnya dalam suatu ujian. Pastinya hasil yang akan didapat murid ialah lulus atau gagal dalam ujiannya. Jika ia lulus, maka itu adalah keputusan si pengajar meluluskannya, sebab berkat usaha yang dilakukan si murid mengantarkannya bisa lulus dalam ujian. Begitu juga sebaliknya. Maka, hasil yang didapatkan, baik lulus atau gagal, murid tidak berhak menyalahkan pengajar, sebab semua tersebut atas ikhtiyar si murid.
Jadi, perbuatan maksiat atau taat yang dilakukan oleh manusia, sejatinya berada di bawah irâdah Allah yang tidak akan terjadi kecuali Allah berkehendak. Tetapi, manusia juga diberikan ikhtiyar dalam melakukan pekerjaannya.
Muhammad Iklil | Annajahsidogiri.id