Majlis Sholawat, bid’ahkah?
Jika berbicara Maulid Nabi, kita tidak akan lepas dari kaum Wahabi. Dari dulu hingga kini, kaum ini getol menolak seremonial perayaan kelahiran Nabi. Argumen mereka tentu saja berputar-putar hanya dalam satu hadis saja, yaitu kullu bid’atin dalalah. Hanya berbekal satu hadis ini, mereka justru menafikan dalil-dalil lain tentang ungkapan syukur kita atas kelahiran Nabi SAW. Bukan hanya dalam ruang lingkut ini saja, bahkan mereka tanpa ragu mensesatkan bahkan mensyirikkan kelompok lain hanya dengan pengetahuan satu hadis di atas.
Nalar mereka dalam hal ini sungguh sangat rapuh dan mudah di patahkan. Mereka membikin nalar bahwa kita tidak boleh mengungkapkan rasa cinta kita kepada Baginda Nabi dengan cara yang telah masyhur kita lakukan. Seperti membagikan sedekah, memuja-muja Rasulullah dan berkumpul dalam sebuah majlis untuk bersalawat kepada beliau.
Seperti yang tengah marak akhir-akhir ini, bahwa mereka dengan mudah mengharamkan majlis-majlis sholawat yang tengah menjadi trend di kalangan kaula muda. Alasan mereka tidak memperbolehkan karena di dalam majilis itu ada tabuhan rebana dan irama salawat dalam bentuk lagu-lagu yang mendayu syahdu. Alasan mereka karena Rasulullah SAW dan para sahabat yang lain tidak pernah membentuk majlis salawat, tidak pernah membuat irama-irama hadrah dan lagu-lagu yang mendayu-dayu. Bahkan merupakan bid’ah apabila membuat-buat sesuatu yang sejatinya tidak pernah di lakukan Nabi dan para Sahabat. Dan pasti setiap perkara yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat akan masuk neraka. Wal iyaadu billah.
Trend Majlis Sholawat yang mendendangkan rebana dengan paduan sholawat yang merdu pasti tidak akan dibiarkan hidup oleh ulama kita apabila tidak ada dalil kuat yang yang menjadi pondasinya. Dalil tersebut antara lain seperti yang termaktub dalam hadis sahih riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban berikut ini;
رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ بَعْضِ مَغَازِيهِ فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ تَعَالَى سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ فَقَالَ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَافْعَلِي وَإِلَّا فَلَا قَالَتْ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ قَالَ فَقَعَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَرَبَتْ بِالدُّفِّ
“Suatu ketika Rasulullah SAW pulang dari suatu peperangan, kemudian seorang perempuan berkulit hitam berkata,”wahai Rasulallah, sesungguhnya aku telah bernadzar, jika Allah SWT mengembalikamu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana di atas kepalamu”. Rasulullah SAW bersabda,” jika kamu bernadzar, maka lakukanlah. Jika tidak bernadzar tidak usah kau lakukan”. Wanita itu berkata,”sungguh aku telah bernadzar”. Lalu Rasulullah SAW duduk dan wanita itu menabuh rebana”.1
Dalam hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak sedikitpun melarang sahabat wanita tadi dalam mengekspresikan kecintaannya pada Baginda Nabi dengan menabuh rebana, bahkan Rasulullah memerintahkannya. Apabila hal itu adalah haram, pasti Rasulullah melarang wanita itu untuk medendangkan rebananya sebagai ungkapan cinta yang tersirat di dada.
Begitu juga dalam cerita yang telah masyhur, bahwa para sahabat Anshar, hingga budak-budak dan anak kecil, berkumpul untuk menyambut kedatangan Rarulullah SAW pertama kalinya di kota Madinah. mereka bersuka cinta menyambut kedatangan sang Bulan Purnama. Imam Baihaqi dalam kitab Dala’il an-Nubuwah meriwatatkan; “Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, para wanita dan anak-anak mengucapkan:
طلع البدر علينا من ثنيات الوداع
وجب الشكر علينا ما دعا لله داع
“Telah terbit bulan purnama di tengah-tengah kita, dari balik bukit Tsaniyatil Wada’
Puji syukur wajib kita haturkan, atas apa yang diserukan penyeru pada Allah”.2
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa majlis-majlis sholawat yang jamak kita jumpai akhir-akhir ini, tidaklah bertentangan dengan ajaran agama islam. Terkecuali ada perkara ‘aridli yang melahirkan terjadinya hukum lain. Lalu adakah dalil-dalil yang melarang secara husus tentang menyemarakkan Maulid Nabi?
Baqir Madani/Annajah.co
Catatan akhir:
1. Sahih Ibnu Hibban, volume 10/232, Musnad Ahmad, volume 38/117
2. dala’il an-Nubuwah Lil Baihaqi, volume 5/71