Ketika menyebut Islam Nusantara, acapkali membikin stigma yang memposisikan Islam Nusantara sebagai lawan dari Islam Arab. Islam Nusantara diidentikkan dengan Islam yang ramah, santun, anti-kekerasan, dan toleran. Hal itu dapat disaksikan dari dakwah atau tersebarnya Islam Nusantara dengan cara yang ramah nan santun secara dominan, kendati ada beberapa peristiwa penyebaran Islam di Nusantara melalui peperangan. Keramahan dakwah tersebut sebagaimana yang terlansir dalam cerita-cerita dakwah Walisongo yang berseliweran di buku-buku sejarah Indonesia. Sedangkan kebalikan dari Islam Nusantara, Islam Arab dikesankan sebagai Islam yang radikal, keras, dan anti-tradisi, dikarenakan dakwah penyebaran Islam Arab melalui ekspansi militer, penjajahan, dan lain sebagainya. Pandangan ini didukung oleh kabar nyata terkait konflik Timur Tengah yang tidak berkesudahan hingga detik ini. Sehingga memunculkan statement bahwa Islam Nusantara lebih sejati dan lebih baik ketimbang Islam Arab.
Bagaimana mestinya?
Diakui atau tidak, keumuman pernyataan semacam tadi tentu sangat berbahaya, utamanya bagi kaum awam. Begitu juga menjadi sesuatu yang disayangkan ialah, yang menyatakan tadi adalah seorang tokoh ternama yang berilmu luas, terlebih merupakan pengurus organisasi Islam terbesar di Indonesia, maka hal itu sebenarnya tidak bisa ditolerir.
Ada beberapa poin yang perlu ditegaskan menanggapi fenomena di atas;
Baca Juga: Tasawuf yang Benar Versi Ahlusunah Waljamaah
Pertama, mencitrakan Islam Arab sebagai Islam radikal, secara tidak langsung juga mencitrakan Islam pada masa kenabian dan Khulafâ’ur Râsyidin. Bagaimana mungkin dikatakan Islamnya Nabi dan para shahabat sebagai Islam yang radikal, sedangkan mereka adalah tokoh pertama dalam khazanah sejarah Islam, yang pastinya nilai keislamannya lebih murni dan lebih baik. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh baginda Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud :
“Sebaik-baik kurun adalah kurunku, lalu kurun sesudahnya, kemudian kurun sesudahnya” (HR. al-Bukhari no. 6429)
Kedua, jumhur ulama fikih sepakat, tindakan perang yang diambil oleh para shahabat, bukanlah serta-merta berperang yang membabi buta seperti halnya bangsa bar-bar. Tetapi perang yang dilakukan shahabat didasari dengan illat “harabah” (memerangi), yakni “zhuhûru ‘alâmatil udwân” (munculnya tanda-tanda permusuhan) seperti memprovokasi, melanggar perjanjian, dan membunuh delegasi, maka dalam hal ini sudah dibilang cukup sebagai syarat untuk mengerahkan pasukan perang. (al-Jihâd fil Islam Kaifa Nafhamuhu Wa Kaifa Numârisuhu hlm. 94. Karya Dr. Said Ramadhan al-Buthi).
Jika di masa sekarang saja suatu negara yang berdaulat bersiap siaga secara militer tatkala terdapat manuver pesawat asing yang memasuki batas negaranya, apalagi jika masalahnya adalah pencaplokan suatu wilayah, pengkhianatan, dan semacamnya, maka bukan tidak mungkin hal tersebut dapat memantik terjadinya peperangan yang dahsyat. Jika semua hal ini dapat dimaklumi terjadi di era kini, maka sepatutnya kondisi dan situasi pada masa shahabat Nabi juga harus kita maklumi.
Ketiga, apabila memang benar bahwa Islam Nusantara lebih baik dari Islam Arab, lantas mengapa secara de facto yang ada, Islam Arab masih menjadi rujukan utama bagi umat Islam di seluruh seantero dunia. Malah, di Nusantara sendiri banyak kalangan mahasiswa yang berbondong-bondong menuntut ilmu ke sana. Hal ini justru sangat mengindikasikan bahwa Islam Arab adalah Islam terbaik.
Barangkali sudah jelas, bahwa pernyataan Islam Nusantara lebih sejati, lebih baik dari Islam Arab itu tak ubahnya sekadar praduga atau buaian subjektif semata, yang didorong oleh sifat fanatisme terhadap wilayah lokal. Tentu saja statement tadi jauh dari kata benar dan termasuk sesuatu yang butuh diluruskan. Karena, ungkapan tak sehat tadi rentan menjebak umat Islam. Wallâhu a’lam.
Ismail | Annajahsidogiri.id
Comments 0