Seringkali ketika terjadi penistaan terhadap agama, muncul segelintir orang menasehati kita untuk senantiasa berlapang dada dengan alasan tenggang rasa. Berbagai justifikasi pun dilontarkan mulai dari Nabi yang pemaaf sampai agama Islam yang rahmatan lil alamin. Lalu dengan alasan ini mereka menuding orang-orang yang terpancing amarahnya sebagai sosok sumbu pendek.
Memang banyak sekali hadis Rasulullah ﷺ yang mewanti-wanti kita untuk menghindari buruknya sifat amarah. Walau demikian hal tersebut tidak dimaksudkan untuk meniadakan sifat marah sama sekali, karena keberadaannya yang merupakan fitrah dan menghilangkannya adalah tindakan tercela.
Terkait hal ini, Imam asy-Syafii berkata, “Barang siapa yang dibuat marah lalu tidak marah maka ia adalah keledai”. Hal ini wajar karena pada dasarnya manusia memendam hasrat yang begitu besar untuk selalu konsisten dengan apa pun, baik berupa pikiran, keyakinan, nilai atau pun prinsip. Ketika prinsip ini diganggu mereka akan marah karena hal tersebut.
Jika memang begitu kenyataannya, maka tinggal kita tinjau saja kepada apa dan dengan motif apa seseorang mengekpresikan kemarahan. Apakah muncul karena faktor dorongan ego dan hawa nafsu atau muncul karena ada hukum Allah yang dilanggar, seperti rasa marah yang muncul ketika agama dinistakan. Jika memang faktor kemarahan itu karena alasan yang kedua, lantas alasan apa yang membuat kita harus melarang mereka yang naik pitam ketika melihat simbol agama dihina.
Marah Menunjukkan Ingkar
Bukankah marah itu menunjukkan ingkar, sedangkan ingkar terhadap perkara yang dilarang agama adalah sesuatu yang wajib. Meski demikian rasa marah sebab batasan Allah dilanggar tidak boleh diekspresikan dengan cara yang semena-mena. Ada ketentuan yang harus diperhatikan sebagaimana keterangan dalam kitab Tuhfatul-Murîd:
Pertama, harus memiliki ilmu yang memadai. Maka orang yang bodoh terhadap hukum tidak boleh baginya melakukan nahi mungkar. Karena hal ini seringkali menyebabkan pelakunya mudah terjerembab pada ekstremitas.
Kedua, nahi mungkar yang dilakukan harus aman dari timbulnya kemungkaran yang lebih besar. Seperti orang yang menegakkan nahi mungkar kepada peminum miras dengan cara membunuhnya, maka hal demikian ini terlarang, karena menyalahi ketentuan yang digariskan oleh syariat.
Ketiga Harus memiliki perasangka bahwa nahi mungkar yang dilakukan memberikan dampak positif. Hal ini berkaitan erat dengan kecermatan dalam melakukan nahi mungkar. Jangan sampai karena keputusan yang kurang matang nahi mungkar yang bersifat positif berubah menjadi sesuatu yang negatif.
Rasulullah ﷺ Pemarah?
Dalam persoalan ini Rasulullah ﷺ pun juga bisa marah. Rasulullah ﷺ sangat naik pitam apabila beliau melihat simbol agama dinistakan. Hal demikian diistilahkan dengan ghirah yaitu sikap tegas mempertahankan kebenaran yang didasari oleh rasa kecemburuan. Maka orang yang memiliki ghirah darahnya akan mendidih, rasa fanatismenya berkobar ketika melihat simbol-simbol agama dinistakan.
Sebagaimana ditegaskan oleh istri beliau Sayidah Aisyah “Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah atas kezaliman yang diterimanya, selama batasan Allah tidak dilanggar. Jika batasan Allah dilanggar maka beliau adalah orang yang paling marah karenanya. (HR. al-Bukhari. No 6853).
Terkait hal ini, Prof. Dr. Sayid Muhammad bin Alawi berkata, “Dalam Islam, ghirah dapat bernilai fî sabilillah apabila difungsikan untuk melindungi agama serta menindak pelanggaran terhadap hal-hal yang telah Allah haramkan. Ghirah sendiri merupakan hal penting, sebab ghirah adalah bentuk rasa cinta dan kepedulian terhadap agama.
Rifqi Ja’far | Tauiyah