Sebab itu, kita dilarang mengatakan bahwa seseorang memakan rezeki orang lain sebagaimana keyakinan Muktazilah. Allah berfirman dalam al-Quran Surat Hud ayat 6:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua rezekinya dijamin oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Lantas bagaimana dengan pencuri, perampok, koruptor dan yang sesamanya? Bukankah mereka semua merampas hak orang lain. Apakah itu tidak dikatakan mengambil rezeki orang lain?
Sebelum itu, penulis akan menjelaskan apa itu rezeki menurut Ahlusunah wal Jamaah. Di dalam kitab Tuhfatul-Murȋd dijelaskan bahwa rezeki adalah sesuatu yang diberikan Allah I kepada makhluk-Nya untuk kemudian dimanfaatkan secara nyata, bukan sebatas dimiliki. Oleh karenanya, sesuatu yang dimiliki seseorang dan mungkin untuk dimanfaatkan, tapi tidak dimanfaatkan, maka hal itu tidak termasuk rezeki bagi si pemilik. Hal itu baru dapat dikatakan rezeki jika telah dimanfaatkan secara nyata oleh si pemilik.
Baca Juga: Hukum Jimat Pelancar Rezeki
Kemudian, perlu diketahui bahwa rezeki itu ada yang halal dan ada yang haram. Rezeki yang halal akan mengantarkan penerimanya kepada amal kebajikan yang berakhir di dalam surga. Sebaliknya, rezeki yang haram akan menyeret penerima dan penggunanya ke dalam kemaksiatan dan kesengsaraan di akhirat.
Dengan demikian, pencuri, perampok, koruptor dan yang sesamanya itu tidak bisa dikatakan mengambil rezeki orang lain, karena rezeki adalah sesuatu yang dimanfaatkan secara nyata. Sesuatu yang mereka ambil kemudian mereka manfaatkan adalah rezeki mereka, yakni rezeki yang haram.
Pada intinya, setiap sesuatu selama bisa dimanfaatkan maka hal itu termasuk rezeki, baik halal atau haram. Dan ketentuan rezeki ini telah ditetapkan oleh Allah I sejak manusia berada di dalam kandungan.
Namun demikian, hal ini bukan berarti rezeki individual yang telah ditakdirkan tidak perlu diusahakan, tidak akan meleset walau hanya ditunggu dengan duduk berpangku tangan, dan tidak akan hilang meski pun dengan diam dan malas. Kita tetap tidak boleh pasrah dan tidak melakukan usaha sama sekali untuk mencari rezeki dengan alasan pasrah terhadap takdir. Ini merupakan kesalahan besar.
Rezeki manusia memang telah ditetapkan oleh Allah I, tapi tidak ada yang tahu dalam bentuk apa Allah memberi rezeki tersebut. Karena ketidaktahuan inilah, dalam keyakinan Ahlusunah wal Jamaah kita tetap dituntut untuk berusaha melakukan yang terbaik, agar takdir kita baik. Barangkali apa yang kita usahakan merupakan takdir yang telah Allah I tetapkan.
Moh. Kanzul Hikam | Annajahsidogiri.id