Dengan alasan keadilan, banyak pemikiran liberal memengaruhi lapisan masyarakat Indonesia. Bahkan kali ini, opini kesetaraan gender pengaruhnya terasa hingga dalam perpolitikan negara. Parlemen yang anggota perempuannya tidak sampai 30% maka akan dianggap mendiskriminasi perempuan. Mereka beralasan jika melihat data proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuan berjumlah 130,3 juta jiwa atau sekitar 49,75 persen dari populasi. Maka sangat disayangkan, jika besarnya populasi perempuan tersebut tidak bisa ikut andil dalam parlemen. Sehingga, kesannya perempuan dipaksa untuk ikut berpartisipasi dalam berpolitik. Dari manakah pandangan seperti ini muncul? Bagaimana jika kita lihat melalui perspektif agama Islam? Mari kita kaji!
Baca Juga: Poligami dan Diskriminasi Terhadap Perempuan
Tidak bisa kita pungkiri bahwa pemikiran-pemikiran yang dimunculkan oleh orang-orang liberal rata-rata dari Barat. Di Barat, perempuan merasa sangat tertindas jika ia menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya melayani laki-laki dan tidak berkarir. Hal ini senada dengan pernyataan Peter L. Berger (Sosiolog dan Teolog kelahiran Austria), “Keluarga sekarang tampak seperti setan tua. Hubungan antara pria dan wanita adalah pemerkosaan; peran seorang ibu rumah tangga adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan” (Misykat, hal. 231). Ini merupakan imbas dari apa yang terjadi di Abad Pertengahan atau yang lebih mereka kenal dengan sebutan Dark Ages (Abad Kegelapan). Saat itu, para perempuan diperlakukan hanya sebagai korban inkuisisi . Sehingga tak ayal jika di Barat para perempuan menuntut untuk disetarakan dengan kaum laki-laki.
Baca Juga: Dr. Adian Husaini: Tugas Perempuan dan Laki-Laki Sama
Nah, pemikiran ini menyebar sampai ke Indonesia. Di Indonesia muncul kaum yang menamakan dirinya sebagai pejuang kaum perempuan atau dikenal dengan kaum feminis. Mereka menggambarkan seakan-akan pada saat ini kaum perempuan berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Pejuang feminisme ini terus melancarkan aksinya hingga pengaruhnya saat ini sampai pada kancah politik. Bagaimana jika kita lihat dalam perspektif Islam?
Dalam sejarah Islam, kita tidak pernah menemukan diskriminasi terhadap perempuan. Orang yang berbuat tidak senonoh kepada kaum perempuan akan dihukum dengan 100 kali cambukan (QS. An-Nûr [24]: 02). Dalam Islam, perempuan adalah perhiasan terindah di dunia (HR. Muslim, no. 715). Ibarat berlian, perempuan merupakan berlian indah yang harus selalu dijaga. Tidak ada yang boleh menyentuh kecuali pemiliknya (suaminya). Sang pemillik harus selalu merawatnya dan tidak membiarkan sesuatu pun menggoresnya. Namun, Islam tidak kemudian mengekang
perempuan untuk selalu di rumah dan tidak memiliki hak bekerja. Selama pekerjaan tersebut bertujuan mulia, sesuai syariat Allah dan tidak bersinggungan dengan tugasnya sebagai istri, juga aman dari fitnah ikhtilâth (perkumpulan) dengan pria lain, maka Islam memperbolehkan (AlMausû’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah 7/87). Maka, selama si suami masih mampu mencarikan nafkah untuknya, tidak sepantasnya jika perempuan kemudian dipaksa keluar rumah.
Apalagi dipaksa untuk ikut dalam parlemen yang mengharuskan dia lebih banyak beraktifitas di luar. Jika memang perempuan itu memiliki kecerdasan yang lebih, seharusnya kecerdasan itu ia manfaatkan untuk mencetak generasigenerasi hebat di kemudian hari. Wallâhu A’lam.
Abdul Muid | Annajahsidogiri.id